Cari Data

Ratna Henny Idamayanti: Tahu Dunia Waria dari Taman Api

taman api berkasan bngt buat saya, slama ini aku chan ga tahu kehidupan waria tuch kyk apa, setahuku ya mereka perempuan jadi2 an...tp setelah baca bukunya aku br ngerti kalau ternyata kehidupan abu2 itu ada, dan waria juga manisia yng kebetulan di lahirkan dengan keistimewaan terssendiri

Ratna Henny Idamayanti
Semarang

Stebby Julionatan: MENGHARGAI DUNIA ABU-ABU TAMAN API


Majalah Link-Go Desember 2011

MENGHARGAI DUNIA ABU-ABU TAMAN API

STEBBY JULIONATAN *)


“Aku percaya kebenaran adalah sebuah perbincangan timbal balik antara dua atau lebih permasalahan, bukan hanya satu kemutlakan.” (hal 45)

Kita sadar dunia tidaklah hitam dan putih. Ada warna tengah di antara keduanya. Abu-Abu. Dan dunia itulah yang dibidik oleh Yonathan Raharjo dalam novel keduanya kali ini, Taman Api.

Taman Api membidik persoalan yang jarang disentuh dalam ranah sastra. Ia tidak lagi membidik kehidupan gay, seperti Andrei Aksana dalam Lelaki Terindah, atau lesbian... seperti Herlinatens dalam Garis Tepi Seorang Lesbian. Ia membidik waria. Kehidupan waria yang biasa berkumpul di Taman Api

Taman Api berkisah mengenai kehidupan tiga orang waria penghuni (atau mantan penghuni) Taman Api. Tari, Riris dan Yanti. Tari yang digambarkan dengan segenap tekad dan kesadarannya, mengubah dan mengoperasi kelaminnya menjadi perempuran dengan bantuan seorang dokter bedah profesional bernama dr. Ranto. Riris yang dikisahkan karena sebuah operasi dan konspirasi rahasia yang tidak menghendaki “kaum” mereka, dikoyak dan dioperasi secara paksa untuk menjadi perempuan. Sedang Yanti adalah titik tengah itu. Wilayah abu-abu itu. Ia adalah waria yang bimbang menentukan jati diri dan eksistensinya. Ketiganya “bertemu”, bertaut dan dipersatukan melalui beragam kebetulan yang memang telah diatur dan direncanakan, lewat jalur investigatif dan konspiratif ala Mission Imposible –dimana tokoh-tokohnya tak saling mengenal mengenai siapa yang diberi tugas untuk menjalankan misi dan siapa yang menugasinya, serta mengandung rahasia-rahasia dan kepentingan yang melibatkan para pemegang kekuasaan.

Teknik filmis-jurnalistik, tanpa pendekatan emosi sama sekali terhadap tokoh-tokohnya, mengingatkan pada gaya menulis Sjumanjaya, yang kali ini diolah dan digunakan kembali oleh Yonathan Rahardjo dengan teknik baru yang lebih kering dan lebih dingin. Tentunya teknik ini bisa menjadi suatu kekuatan atau malah menjadi titik kelemahan novel ini. Tergantung dari sudut mana pembacanya menilai.

Membaca Taman Api seakan disuguhi sebuah film yang menyediakan ruang dan pembacaan yang begitu berjarak dengan penikmatnya.

Akibat ruang dan jarak yang disediakan,  Yonathan Rahardjo tak ubahnya seperti dr. Spencer Lecher (yang notabene profesi mereka sama, seorang dokter) dalam Hanibal, yang dengan begitu tega, dingin, tanpa perasaan...  menguliti korbannya. Yonathan Rahardjo tak peduli kalau korbannya itu sudah berteriak-teriak minta ampun dan memintanya berhenti melakukan penyiksaan itu.

Yonathan Rahardjo seakan mengajak pembacanya untuk berwisata ke sebuah gurun, ke sebuah padang pasir yang luas sekali, lalu meninggalkan mereka begitu saja di sana tanpa bekal, tanpa rambu, ataupun tanda-tanda untuk mereka bisa keluar dari sana atau setidaknya menjangkau oase yang terdekat.

Bagi saya pribadi, pendekatan atau teknik filmis-jurnalistik yang digunakan Yonathan Rahardjo dalam Taman Api, merupakan sebuah keunggulan novel ini. Sebab saya dipaksa untuk memiliki empati dan simpati kita sendiri, tanpa terpengaruh sedikitpun oleh empati atau rasa simpati orang lain, termasuk empati dan simpati dari penulisnya, terhadap objek yang dibicarakan oleh Yonathan Rahardjo dalam novelnya (baca: waria).

Sehingga, setelah selesai membaca Bab Satu, Peta Perjanjian, saya yang memang awam pada dunia medis, dibuat bertanya: “Apakah waria yang sudah ganti kelamin, dari lelaki menjadi perempuan, bisa merasakan nikmatnya sensasi orgasme layaknya wanita?” Jujur... bagi saya pribadi, timbul kembali sebuah iba, sebuah empati atau malah sudah beranjak pada simpati, “Kasihan ya mereka.... jikalau dengan operasi ganti kelamin yang menghabiskan dana ratusan juta rupiah, mereka tak mendapatkan kenikmatan tersebut saat behubungan intim dengan pasangannya kelak, lha apa gunanya operasi tersebut?!”

Untungnya Yonathan Rahardjo memberikan jawaban tersebut pada bab berikutnya.

Yonathan Raharjo juga membiarkan pembacanya, kembali meninggalan mereka di gurun kebimbangan, serta tak sedikitpun memberikan keberpihakannya terhadap “kebaikan” mana yang harus dipilih oleh pembacanya. Sebagai waria yang dipukuli atau orang-orang yang dasar agama, berteriak-teriak dan memusuhi mereka.

Hal itu berlangsung terus sepanjang cerita. Sayangnya, menjelang akhir Yonathan Rahardjo mulai lelah untuk terus terusan mempertahankan pendapatnya, mempertahankan ketahanan dirinya yang sudah membiru dan babak belur dihajar “massa”. Yonathan Rahardjo mungkin terpaksa harus mengalah kepada pendapat umum, mengalah pada stigma masyarakat dan (malah) turut menjadi hakim pada apa-apa yang sudah ia bangun dan ia letakkan pada porsi dan pondasinya masing-masing. Turut menjadi “Petani Agung” yang memisahkan tuaian dan siangan.

“...Kurasakan manfaat lain yang jauh lebih besar dari semua ini, mendorongku untuk membuat program-program pemberantasan sifat dan sikap banci lebih menyeluruh, tak terbatas pada identitas seksualitas, tapi juga pada masalah-masalah keluarga, pendidikan, agama, bisnis, ekonomi, sosial, pelayanan masyarakat, kepemimpinan dalam pemerintahan, hukum bahkan hubungan internasional, tatanan keseimbangan alam dan masih banyak lagi sebanyak bintang di langit.”
....
“Ya tadi itu, pemberantasan sifat dan sikap banci di segala bidang. Tak terbatas pada identitas seksualitas. Tapi juga pada berbagai masalah kehidupan.”
“Apa andalan gerakan ini?”
“Operasi kelamin dan chip.”
“Bagaimana mekanisme kerjanya untuk pemberantasan sikap dan sifat banci di bidang non-seksual ini?”
“Kita tunggu saja, Hen.” (hal 194-195)

Sebagai penutup, jujur, saya belum membaca “Lanang”, novel karya Yonathan Rahardjo yang memenangkan Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta 2006, sehingga sukar bagi saya untuk membandingkan kualitas karyanya yang sekarang, Taman Api, dengan novel pendahulunya. Tapi, jujur (lagi), Taman Api adalah novel yang menarik untuk menjadi bahan perenungan bagi kita yang hidup di dunia yang tak hanya hitam, tak hanya putih, namun masih tersembul warna lain di antaranya. Abu-abu. (tby)

*) peresensi adalah penggiat sastra, penulis novel LAN, dan peraih penghargaan Penulis Muda Berbakat 2007 versi kolomkita.com