Cari Data

Kompasiana: Talkshow Waria "Taman Api" di Radio Jakarta

http://media.kompasiana.com/buku/2011/11/24/waria-pilihan-sadar-hidup-rukun-jaya-sentosa-bersama/

Waria, Pilihan Sadar, Hidup Rukun, Jaya Sentosa Bersama


1322123115993521640
Ari penyiar radio DFM 103,4 Jakarta Mengudarakan Novel Taman Api
.
Talkshow Novel “Taman Api” di DFM 103,4 Jakarta berlangsung pada Senin, 14 Nopember 2011 malam pukul 21-22. DFM 103,4 Jakarta terletak di Jalan Mimosa, Buncit Indah Belakang Kantor Rumah PAN, Warung Buncit Jakarta Selatan. Sebelumnya radio  menyiarkan siaran relay dari Semarang acara seremonial owner radio yang mantan menteri jaman Presiden Soeharto, Haryono Suyono. Acara terdengar semarak dengan statement-statement penting dan pemberdayaan generasi penerus perjuangan bangsa disusul dengan siaran langsung membahas buku novel Taman Api.
Pewawancara radio Ari dengan suara merdunya mengantar pendengar untuk masuk dalam talkshow membahas novel Taman Api karya Yonathan Rahardjo. Suara empuk Ari mencipta suasana nyaman bagi para pendengar dalam menyimak pengenalan novel Taman Api yang malam ini bernarasumber Yonathan Rahardjo penulis Novel Taman Api dan Toga Tambunan aktivis sosial kemasyarakatan dari Paguyuban Kebudayaan Rakyat Indonesia (PaKRI).
Acara yang merupakan kerjasama DFM 103,4 Jakarta dengan Penerbit Pustaka Alvabet Jakarta selaku penerbit Novel Taman Api melayani pertanyaan dan pernyataan pendengar yang direspon dengan simpatik oleh Yonathan Rahardjo dan Toga Tambunan. Waria dan seluk beluknya menjadi bahasan utama, setelah Yonathan menjawab pertanyaan Ari tentang cerita yang diusung dalam Novel Taman Api.
Penanya pertama minta penjelasan Yonathan tentang bisnis praktek keji kedokteran di balik cerita pengangkatan jenis kelamin dengan para waria sebagai korban dalam novel. Yonathan mengungkap pengalaman sebagai medical representative atau detailer membukakan matanya tentang bisnis yang dimainkan dokter dalam peresepan berpamrih materi. Dokter yang tidak baik tentu ada di samping keberadaan dokter yang idealis.
Mengalirlah pertanyaan demi pertanyaan pendengar yang lain menyemarakkan pembahasan tentang waria secara menawan oleh Yonathan dan Toga Tambunan. Antara lain, keberadaan waria di tengah-tengah masyarakat, alasan Yonathan mengangkat bahasan novel tentang waria, lama waktu penulisan, survei dan pemetaan waria di berbagai kota dan keberadaannya, jumlah waria kenalan Yonathan, klasifikasi sosial  ekonomi waria di Taman Lawang pusat aktivitas waria di Jakarta, pembedaan waria secara genetik, sosial dan psikologis, pendidikan dan tindakan yang mesti dilakukan untuk memosisikan keberadaan waria secara proporsional.
Pertanyaan kritis tentang anggapan perbuatan tidak bermoral yang diidentikkan terkait dengan cara hidup waria yang tidak sesuai dengan firman Tuhan dijawab Yonathan bahwa semua tergantung cara pandang orang yang berbeda-beda. Ada agama yang mengutuk keberadaan waria namun ada agama yang  menempatkan kaum waria di tempat terhormat lantaran hanya kaum mereka yang dapat menjadi perantara antara manusia dengan Tuhan karena kesucian waria yang tidak mengeluarkan darah merah yang datang bulanan seperti wanita.
Dalam pandangan Yonathan, kejahatan tidak pandang status seseorang, bahkan banyak ulama yang melakukan pedofilia dan korupsi yang berdampak besar dalam hidup masyarakat. Pilihan hidup dengan nilai-nilai berdasar agama tertentu adalah langkah berikut setelah pilihan dan praktek agama itu menjamin kerukunan hidup bersama. Soal pilihan cara hidup, menurut Yonathan, seharusnya adalah pilihan sadar bahwa kita manusia hidup seharusnya dapat rukun dan saling menjaga perbedaan tanpa ada paksaan. Hanya hidup secara bhinneka atau plural yang saling menghormati bebas dari konflik asimilasi yang saling menindas kita dapat menuju masyarakat yang jaya sentosa. Toga Tambunan berpendapat di sini peran negara sangat menentukan untuk pendidikan dan pemberdayaan  secara beradab terhadap kaum waria, yang tak lebih dari representasi dari begitu banyak kaum marjinal yang begitu sering dipinggirkan oleh sistem negara yang korup. kompasiana.com/novelindonesia

MEMAHAMI WARIA DENGAN CINTA

MEMAHAMI WARIA DENGAN CINTA
Dra. DWI SUPARTI

(Disampaikan pada Bedah Buku "Taman Api" karya Yonathan Rahardjo)

Simpang Lima Gumul, Minggu 25 September 2011

Membaca novel "Taman Api" karya Yonathan Rahardjo, kita seperti dibawa dalam realis kehidupan waria atau para bencong dengan segala proses, stigma, atribut, lika-liku, riang gembira serta derai air mata. Kehidupan mereka yang tertutup dan khas dibongkar sedemikian lkugas. Intrik-intrik yang dibangun pengarang membuka mata kita bahwa stigma negatif yang sering ditimpakan kepada mereka hanya akan membuat mereka tambah terpuruk.

Siapa sih yang ingin jadi waria? Pertanyaan ini kalau normal diajukankepada siapapun pasti kita dapat dengan mudah mengetahui jawabannya.

Waria, wadham, banci atau bencong bagi banyak orang merupakan bentuk kehidupan anak manusia yang cukup aneh. Secara fisik mereka adalah laki-laki normal, memiliki kelamin yang normal, namun secara psikis mereka merasa dirinya perempuan, tidak ubahnya perempuan lainnya. (Koeswinarno, 2004:1)

Akibat yang ditimbulkan bisa langsung ditebak. Kehidupan perilaku mereka sehari-hari tampak kaku, secara fisik mereka laki-laki tetapi cara berjalan, berbicara dan dandanan mereka mirip perempuan. Dengan kata lain jiwa mereka terperangkap pada tubuh yang salah. Lelaki sejati bukan tapi perempuan tulen pun tidak. Tentu ini menjadi hal yang sangat sulit bagi mereka. Padahal dalam tataran sosiokultural serta dogma manapun jenis kelamin yang ada hanya laki-laki dan perempuan. Tidak ada jenis kelamin ketiga atau
jenis kelamin antara. 

“Sikap banci jelas sangat meresahkan, seperti halnya keberadaan banci itu sendiri. Padahal, menurut agama, awalnya manusia diciptakan Tuhan hanya sebagai laki-laki atau perempuan, dan hukum agama hanya memberi dan minta ketegasan pilihan bagi manusia hanya menjadi pria atau wanita saja. Bukan menjadi banci! Tidak ada pilihan tengah! Agama tak menolerir kegamangan identitas gender, lantaran akan merusak tatanan alam dengan mendorong hubungan seks sejenis yang merusak sistem sosial, sistem hukum, menyebarkan berbagai penyakit menular dan sebagainya.” (Yonathan Rahardjo, 2011:23)

Menjadi waria sebenarnya bukanlah terjadi mendadak dan tiba-tiba. Membutuhkan proses yang sangat panjang dan berliku. Penuh tekanan dan kebingungan. Sebagai sebuah kepribadian, kehadiran seorang waria merupakan satu proses yang panjang, baik secara individual meupun sosial. Secara individu,lahirnya perilaku waria tidak lepas dari satu proses atau dorongan yang kuat dari dalam dirinya, bahwa fisik mereka tidak sesuai dengan kondisi psikis. Tentu ini menimbulkan onflik psikologis dalam dirinya.

Presentasi perilaku yang jauh dari laki-laki normal tetapi juga bukan perempuan normal. Belum semua anggota masyarakat termasuk keluarga mereka sendiri dapat menerima dengan wajar kehidupan waria. Kehadiran waria lebih dianggap aib. Dalam pergaulan sosial pun waria senantiasa mengalami konflik-konflik dalam berbagai bentuk, cemoohan, pelecehan maupun pengucilan. Perlakuan kebijakan, sosiokultur sangat jauh dari unsur manusiawi. Razia dengan segala bentuk kekerasan yang diterima membuat mata kita terbuka lebar-lebar dengan dunia waria. Pemahaman kita yang sempit ikut memperburuk keadaan para waria.

Konflik-konflik tersebut justru menyebabkan dunia waria semakin terisolir dari lingkungan sosial. Semantara waria dituntut harus mampu survive dalam lingkungan yang mengisolirnya. Tekanan-tekanan yang kuat yang memunculkan stereotif negatif tersebut yang banyak membuat waria justru lari dari rumah dan lingkungan sosialnya. Dengan kehidupan barunya beserta stereotif yang melekat tentu tidak mudah menjalaninya. Meskipun pada akhirnya para waria menemukan subkulturnya: bahasa, gaya hidup, dan solidaritas.

Dalam novelnya, Yonathan Rahardjo juga mengungkapkan realitas seputar kehidupan waria, solidaritasnya, relasi seksualnya, haru biru permak tubuh melalui silikon serta tajamnya pisau bedah operasi kelamin, penyebaran HIV/AIDS.Juga intrik bisnis yang melingkupi dunia mereka.

Sastrawan dilahirkan, dibesarkan, dipengaruhui dan digelisahkan oleh dinamika dan berbagai benturan yang terjadi di tengah kehidupan sosial-budaya masyarakatnya. (Maman S Mahayana, 2007:1). Yonathan Rahardjo, sastrawan yang dokter hewan ini, berhasil meramu imaji antara dunia waria dengan dunia medis yang berkaitan dengan dunianya. Orang awam yang membaca novel ini, akan terhenyak dengan satu sisi realita kehidupan waria. Stigma negatif yang mereka terima sebaiknya justru harus memotivasi waria untuk lebih menonjolkan kelebihannya. Banyak contoh waria yang mampu menunjukkan eksistensinya dengan prestasi. Orang lebih menghargai karya nyata tanpa Memandang siapa dia.

Memaknai kehidupan waria tentunya harus dengan ketulusan hati. Mereka juga makhluk Tuhan. Mereka diciptakan tentu selalu ada tujuan tertentu. Konflik-konflik yang luar biasa serta tekanan-tekanan yang didapatkan sebagai proses pencarian diri, mestinya tetap tidak meninggalkan hakikat waria sebagai makhluk Tuhan. Proses yang panjang mestinya semakin menguatkan  keimanan kepada Sang Pencipta. Kekhasan waria menjadi bukti juga bahwa Tuhan Maha Kuasa.

Lingkungan keluarga mestinya pihak pertama yang meneguhkan hati. Dengan keikhlasan menerima ciptaanNya, tentu semakin mudah bagi waria untuk memudahkan proses panjang pembentukan kepribadian. Dengan kekuatan doa dan cinta kasih dari orang-orang terdekatnya, Insya Allah akan datang hidayahNya. Pilihan menjadi  laki-laki atau perempuan kembali kepada waria, karena mereka yang menjalaninya.

Akhirnya...,
Kekuatan cinta dan kasih sayang yang tulus serta keikhlasan untuk menerima waria-lah yang akan menentun mereka mendapatkan kekuatan untuk menjalani kehidupannya. AMIN.

"MANUSIA AKAN MENJADI MANUSIA KALAU DIA MENYADARI BAHWA DIA MANUSIA" dwis11