Cari Data

Sandra Cattelya: Taman Api tells a rare issue in Indonesian fiction literature


Rahardjo, Yonathan. 2011. Taman Api. Jakarta: Pustaka Alvabet.
Rating 2,5 stars
Thank you, Pustaka Alvabet, for giving me this book in exchange for honest review.
Taman Api
We live in a world where being normal is to be attracted toward opposite sex. So, generally any human being who is attracted toward the same sex, known as gay, is considered as abnormal. ‘Normal’ is a situation that is usual compared to most others. In that case, those who are attracted to the same sex are unusual and considered as abnormal. But, what if the normal situation is the contrary from what happened now. What if being normal is when people attracted to the same sex, and those who are attracted to the opposite sex are forced to ‘repent’ and must to be attracted to the same sex. Well? Kind of nauseating, isn’t it? Perhaps that’s what gay people feel all this long. Moreover, how does it feel for those who choose the ‘rougher’ path by becoming gender benders or transsexuals? What are their stories?

Taman Api tells a rare issue in Indonesian fiction literature. It talks about the transsexual life style. Transsexual in Indonesia is far different from Thailand’s. Indonesian transsexual doesn’t have place in community and they are not national’s revenue sources like in Thailand. What happened? You might get some slight insight of Indonesian transsexual by reading this novel. Though, Taman Api’s set of place is not in Indonesia but in a state called Tanah Air (‘mother country’).

It’s not very easy to enjoy this novel because 1) the loose characterization, 2) vague story plot, 3) many lines are too long and complicated, 4) plus, the using of too many hyperbole and personification really doesn’t help. BUT, if you can ignore all of those downsides, this novel will take you drown in its world of bitterness. Yonathan Rahardjo seems had done great with his research before he writes down this novel. As a veterinarian, Rahardjo succeed to brings out the world he doesn’t associate with in real life (or, he does associate with transsexual life style, because who knows, right?). By reading Taman Api, reader will know information about HIV/AIDS, sillicon injection, sex surgical operation procedure, and many more. Rahardjo also, like out of the blue, shows his imagination about a chip that is planted in selected transsexuals to locate them, like a transmitter maybe, and to somehow calculate the HIV/AIDS contagious rate. But whatever, the most essential part of this novel is the elaboration on internal conflicts of the characters, especially Tari’s and Priyatna’s.

Tari is a celebrity transsexual with intelligence and boldness. She (actually ‘he’) is wholeheartedly eager to become entirely woman and in order to do so, she braves herself up to do a surgery to exchange her sex. She is willing to cut off her penis and replace it with a ‘handmade’ vagina. Meanwhile, Priyatna is an average medical representative. His job is to offer medical stuff to doctors and patients. Uniqely, Priyatna feels turn on sexually if he sees or even wears woman clothing. Then, he gives a try to become a gender bender in the night as Yanti. Conlicts! The conflicts not only risen from internal, but also from external like from the citizen, mass media, police, and religious communities, and most of them are careless, reckless, and violent.

However, Taman Api is a work of fiction and what reader gets from reading this novel should be wisely thought. Although I personally rate it as a 2,5 stars book, I do wish more people to read Taman Api, so more people perhaps could change their perception, like I did. My high school is acrossed from Taman Lalu Lintas (‘Traffic Park’ or also named Ade Irma Suyani Nasution Park). In night time, this park used to be an area where transsexuals offer whatever they are offering. They scattered surround the park, stood tall and pride with their thick make up. I used to go home late several times, from school or from friend’s place near school. To get home, I must walk passing them. And you can say, I was scared to death. I better walked far around than to pass them, if no one was able to accompany me.


Why did I scared? Because I (very wrongly) thought they are abnormal people and they would harm any normal people who get near them. As I got older, I realized that they are just as normal as me! And of course, they have feelings too. I am not scared of them anymore. But, after reading Taman Api, I really want to have a transsexual as a friend. I really wish you guys (transsexuals) blessed with happiness and freedom in this life. Stay strong, Girls! Cheers. Let's cyber-hug.

Sandra Cattelya: Riset mendalam sebelum menuliskan novel ini



Oleh:  Sandra Cattelya

Sandra Cattelya shared a link.
Waria, dokter bedah kelamin, dan kelompok agama yang anarkis. Novel ini layak baca.


Taman Api – Yonathan Rahardjo


Rahardjo, Yonathan. 2011. Taman Api. Jakarta: Pustaka Alvabet.
Rating 2,5 bintang
(...) Yonathan Rahardjo jelas-jelas melakukan riset mendalam sebelum menuliskan novel ini. Sebagai dokter hewan, Yonathan berhasil mengangkat isu yang jauh dari dunia profesinya. Di Taman Api pembaca disuguhkan informasi tentang HIV/AIDS, suntik silikon, prosedur medis bedah kelamin, dan lainnya. Yonathan juga dengan ajaib memaparkan imajinasinya tentang chip yang ditanamkan pada setiap waria sebagai alat lacak dan pantau tingkat keterjangkitan HIV/AIDS.  Tapi yang menjadi titik nadir novel ini adalah elaborasi konflik batin tokoh-tokohnya, terutama Tari dan Priyatna. (...)

Sandra Cattelya:
selengkapnya: 

Sandra Cattelya

Ulasan lengkap bisa dilihat di pagebypage-sc.blogspot.com

Terima kasih kepada Pustaka Alvabet yang telah memberikan saya buku ini sebagai ganti ulasan yang jujur.

Taman Api
Orang yang mengajak kenalan lewat sms biasanya tidak saya waro (Sunda: pedulikan, memberi perhatian).
Tapi, karena beberapa hari yang lalu saya masih sedang membaca novel ini, saya jadi iseng.
Dia: Mlem.. ?
Saya: ya?
D: Blh knln nich.?
S: ini siapa?
D: Sya deni,lw situ cpa namanya..
S: kalo malem namaku bintang kejora, kalo siang jadi abdullah.
D: Ouh gitu,kalo pg,
S: kalo pagi panggil apa aja boleh. kamu waria juga? dapet nomor aku drmana? pasti dari si flora yah.
D: Astagfiruloh mit amit dech..
S: kenapa den?
D: Gk...
S: dapet nomorku drmana den? kamu mau pesen servis?
D: Sory ya gwe msh normal gk jd dech.
Kita hidup di dunia di mana menyukai lawan jenis adalah normal. Jadi, umumnya manusia-manusia penyuka sesama jenis dianggap tidak normal. ‘Normal’ adalah sesuatu yang sesuai dengan keadaan yang biasa. Penyuka sesama jenis memang tidak normal karena mereka tidak sesuai dengan keadaan yang biasa. Tapi, bagaimana kalau keadaan normal itu kita andai-andaikan saja terbalik. Misalnya kita hidup di dunia di mana yang normal itu adalah menyukai sesama jenis, dan mereka yang penyuka lawan jenis dipaksa ‘tobat’ dan harus menyukai sesama jenis. Bagaimana? Rasanya geuleuh (Sunda: jijik, geli) kan? Mungkin itu juga yang dirasakan dia-dia yang penyuka sesama jenis. Apalagi bagi mereka yang menempuh jalur lebih ‘berani’ dengan menjadi wanita tapi pria alias waria.


“Mereka tahu betul, orang-orang yang mengejar untuk menangkap mereka jugalah yang suka melirik, menggoda dan menikmati pelayanan mereka, pelayanan para waria.”

Taman Api mengangkat ide cerita yang langka dalam pernovelan Indonesia. Novel ini bercerita tentang kehidupan waria, mereka yang transgender dan transseksual. Waria di Indonesia tidak (belum?) seperti waria di Thailand. Mereka tidak punya tempat di masyarakat dan tidak dijadikan sumber devisa negara. Apa yang terjadi dengan waria di Indonesia? Taman Api mungkin bisa memberikan sedikit gambaran, walaupun novel ini tidak menceritakan kisah waria di negeri Indonesia melainkan di negeri bernama Tanah Air.
“Mereka terus mengejar manusia berbusana wanita yang cuma bersenjata bedak dan gincu.”

Agak susah mencerna novel ini karena penokohan yang tidak kuat, alur cerita yang agak kabur, kalimat-kalimat panjang berbelit dengan penggunaan majas hiperbola dan personifikasi yang banyak. Namun kalau bisa tak mengindahkan hal-hal tersebut, pembaca bisa menikmati Taman Api dan tenggelam dalam kegetirannya. Yonathan Rahardjo jelas-jelas melakukan riset mendalam sebelum menuliskan novel ini. Sebagai dokter hewan, Yonathan berhasil mengangkat isu yang jauh dari dunia profesinya. Di Taman Api pembaca disuguhkan informasi tentang HIV/AIDS, suntik silikon, prosedur medis bedah kelamin, dan lainnya. Yonathan juga dengan ajaib memaparkan imajinasinya tentang chip yang ditanamkan pada setiap waria sebagai alat lacak dan pantau tingkat keterjangkitan HIV/AIDS.  Tapi yang menjadi titik nadir novel ini adalah elaborasi konflik batin tokoh-tokohnya, terutama Tari dan Priyatna.
“Yang harus mendapat perhatian lebih mestinya kasus suntik silikon ilegal ini. Untuk penanganan AIDS mestinya kita rangkul dan gandeng tangan saudara-saudara kita ini dan semua masyarakat karena penyebarannya tak sebatas lewat keberadaan waria.”

Tari adalah waria selebriti yang cerdas dan berani. Dia ingin sekali menjadi wanita seutuhnya sehingga memutuskan untuk operasi kelamin. Membuang penisnya dan digantikan dengan vagina buatan para dokter bedah kelamin. Sedangkan Priyatna adalah laki-laki pekerja biasa yang merasakan rangsangan seksual saat melihat apalagi memakai pakaian wanita. Priyatna pun menjajal dirinya dengan menjadi Yanti pada malam hari. Konflik! Konflik! Konflik! Bukan saja dari dalam diri Tari dan Priyatna, namun juga konflik eksternal seperti dari masyarakat, media, polisi, dan kelompok agama, yang abai, lalai, dan anarkis.
“Tugas polisi seolah-olah hanya memasang garis pengaman.”

Bagaimana pun, Taman Api adalah hasil karya fiksi dan apa-apa yang disampaikan di dalamnya perlulah disikapi dengan bijaksana. Tapi, baik sekali bila semakin banyak orang yang membaca buku ini, supaya lebih banyak orang yang introspeksi diri seperti saya. Tempat saya ber-SMA berseberangan dengan Taman Lalu Lintas (atau juga disebut Taman Ade Irma Suryani Nasution) yang kalau malam banyak waria menjajakan jasanya di sekitaran taman tersebut. Beberapa kali saya pulang malam dan harus melewati mereka-mereka yang berdandan menor, saya takut sekali dan mendingan jalan memutar yang jauh kalau saya lagi sendirian.

Kenapa saya takut? Karena mereka tidak normal dan saya pikir mereka bakal menjahati orang normal yang dekat-dekat dengan mereka. Seiring bertambahnya usia saya, saya sadar bahwa mereka sama normalnya dengan saya dan hanyalah manusia biasa yang juga punya perasaan, jadi saya tidak lagi takut banci. Namun, setelah membaca Taman Api, saya ingin sekali punya teman yang waria. Saya doakan bagi Anda-Anda yang waria supaya mempunyai hidup yang bebas dan bahagia. Tetap kuat, Kawan! Salam.