Cari Data

Diana AV Sasa: Ironi di Negeri yang Banci



Resensi Buku Novel "Taman Api"
Judul: Ironi di Negeri yang Banci
oleh: Diana AV Sasa

Pontianak Post, Minggu 18 September 2011
Halaman 2


Klandestin Banci di Negeri Banci

Oleh: Diana AV Sasa*)

http://www.facebook.com/notes/diana-av-sasa/klandestin-banci-di-negeri-banci/10150811861915565

*) artikel versi asli ini dimuat oleh Jawa Pos, 4 September 2011 dengan judul "Ironi Banci di Negeri Banci'


“…Di sisi penyebaran sifat, wanita-pria bahkan sampai merengsek dan menelusup setiap tempat, tak terkecuali tempat-tempat penting penentu kebijakan berbangsa dan bernegara. Kebijakan pemimpin negara rata-rata menjadi kebijakan banci, tidak tegas dalam keberpihakan. Sikap mereka mirip para waria, tidak laki-laki tidak perempuan!”

Sikap dan sifat banci itu lah yang coba diangkat Yonathan Rahardjo dalam novel terbarunya Taman Api (2011). Dituturkan dengan gaya filmis, Yonathan meramu antara fenomena dunia seksualitas para banci (dalam hal ini adalah waria-transgender) dengan banci sebagai sebuah gejala sosial, sikap dan sifat dalam masyarakat. Dengan cara ini, Yonathan seakan ingin menunjukkan bagaimana sekelompok manusia di sebuah negeri bisa dijadikan korban dengan tuduhan-tuduhan, yang ironisnya, penuduh adalah juga pelaku apa yang dituduhkan, meski dalam dimensi atau takaran yang berbeda.

Menggunakan alur cerita yang liniear, kisah klandestin banci di negeri (yang) banci itu dikemas dalam sebuah konspirasi yang mencengangkan. Di negeri bernama Tanah Air, sekelompok dokter berkumpul di Gedung Persaudaraan. Mereka berhimpun dalam sebuah secret society bersebut Gerakan Persaudaraan. Perkumpulan rahasia ini dipimpin Dokter Shahrul, seorang dokter ahli bedah kelamin.

Perkumpulan rahasia para dokter ini memiliki visi: pemberantasan sikap banci di segala bidang. Sikap banci dianggap sebagai sebuah gejala sosial yang mewabah. Tertular melalui media elektronik dan gaya hidup. Di televisi-televisi, sebuah acara akan naik ratting bila ada presenter bergaya banci. Komunitas banci yang semula tertutup pun mulai membuka diri dan berani mengambil posisi penting di berbagai bidang.

Gerakan Persaudaraan melihat mewabahnya pria yang kewanita-wanitaan ini membawa efek sosial yang tidak remeh. Dikatakan bahwa sikap banci sudah mendatangkan persoalan di bidang ekonomi, pendidikan, agama, budaya, pangan, dan kestabilan alam. Sayang tuduhan ini hanya muncul dalam simbol-simbol peristiwa dan penokohan yang mesti ditelaah mendalam oleh pembaca. Yonathan gagal mendeskripsikan dengan apik sejauh mana bidang-bidang itu terkontaminasi. Ia hanya menceritakan (tell) bukan menunjukkan (show) sehingga pembaca sangat terbatas untuk memberikan penilaian tentang pernyataan itu.

Dalam novel setebal 216 halaman ini Yonathan yang seorang dokter hewan mampu menghadirkan deskripsi dunia kedokteran dengan baik. Ia menggambarkan dengan detil bagaimana rutinitas kerja dokter, Medical Representatif (penjaja obat), hingga tahapan-tahapan operasi kelamin. Lengkap pula dengan segala intrik, manipulasi, dan konspirasi busuknya.

Untuk menjalankan misi, Gerakan Persaudaraan menciptakan chip multifungsi yang ditanam dalam tubuh para banci melalui operasi tubuh-kelamin. Chip ini mampu membantu transformasi roh pria ke wanita, memonitor pergerakan tubuh, dan merekam pembicaraan. Semua dipantau melalui satelit dengan sistem komputerisasi. Dari chip, mereka akan mendapatkan data perkembangan penyebaran virus HIV. Dengan data ini mereka punya alasan kuat mengapa banci layak diberantas laiknya penyakit. Banci adalah sumber HIV gelombang ke II

Ide Chip ini bukan sesuatu yang fiksi futuristik. Dr. John Manangsang, anggota komisi E dari PNBK di Papua, sekira tahun 2008 membuat geger dengan gagasan Perda pananaman chip pada penderita HIV untuk memantau persebaran virusnya. Bukan hanya itu, seluruh penduduk di Papua akan diwajibkan periksa HIV dan wajib mendapat kartu identitas AIDS yang diperbarui tiap tahun. Gagasan ini tumbang di meja dewan legislatif karena ditentang banyak kalangan, dianggap melanggar hak kemanusiaan. Disini, Yonathan sukses membawa fakta yang difiksikan.

Yonathan mengisahkan, pemasangan chip dilakukan dengan rahasia. Pinjam tangan polisi Pamong Praja dan kaum agamawan garis keras untuk melakukan razia dan perlawanan dengan kekerasan. Banci rendahan yang mangkal di taman-taman dikejar. Diseret ke kantor polisi, dites HIV, dan dioperasi kelaminnya tanpa persetujuan siempunya tubuh. Pada banci elit ditawarkan operasi kelamin murah dengan bonus perbaikan bentuk tubuh, wajah, dan keindahan kulit.

Untuk menjalin konflik cerita, Yonathan menghadirkan Dokter Ranto, seorang ahli bedah kelamin juga. Dokter Ranto menjalankan bisnis pengiriman banci elit ke Negara Canggih. Dengan memperalat banci Tari yang diperistri olehnya, Dokter Ranto dibantu Tari memilih banci terbaik yang belum melakukan operasi kelamin. Kedoknya adalah ajang pemilihan banci nan cerdas dan cantik. Disini, dokter Ranto berperan seakan dia adalah pembela kepentingan hak asasi para waria yang sering dimarjinalkan. Bersama Tari, ia mendampingi gerakan aktivis banci untuk menuntut hak-haknya. Selain tari, Dokter Ranto dibantu Reta, seorang pengusaha salon yang melakukan praktek penyuntikan silikon cair illegal.

Sebuah ketidak hati-hatian merusak klandestin yang tengah berjalan. Priyatna, seorang pria berprofesi sebagai Medical Representatif langganan dokter Ranto dan dokter Sahrul yang terpengaruh untuk menjadi banci, membongkar semuanya. Operasi rahasia terhadap waria jalanan dilaporkan ke polisi oleh asosiasi para banci yang didampingi dokter Ranto. Reta menjadi buron karena seorang banci mati setelah disuntik silicon cair. Sahrul terancam, dia lah pemasok silicon cair illegal itu.

Digambarkan dalam novel ini bagaimana banci bukan semata persoalan seksualitas, tapi sebuah sikap yang membawa ironi kemanusiaan. Polisi Pamong Praja yang berasal dari masyarakat sipil justru menjadi pelaku pembantaian para banci dengan cara kekerasan. Pemangku agama yang semestinya berhati lembut justru melakukan kekerasan pada waria karena dianggap makhluk yang melanggar takdir Tuhan. Dokter yang semestinya berjiwa mulia, menjadi penyelamat kehidupan dengan pengabdian pada kemanusiaan justru menjadi pelaku kejahatan berbasis capital dengan kedok medis. Sebuah ironi di negeri (yang) banci.

Judul : Taman Api
Penulis : Yonathan Rahardjo
Tahun Terbit : Mei, 2011
Penerbit : Alvabet
Halaman : 216
Genre : Novel
ISBSN : 978-602-9193-01-5

Dwi Suparti: Pemikiran cerdas yang tertuang dalam sastra. Taman Api terbukti!

Sekarang tipu daya dan kesesatan menjadi hal biasa. Budaya malu hampir tidak ada, sopan santun sudah sangat langka, Karakter asli Indonesia yang Pancasilais dan semangat bhinneka hanya slogan dan simbol. Sebenarnya mau dibawa ke mana negeri ini. Sudah tidak mampukahmendengar suara Tuhan? Fenomena banci benar-benar mulai merasuk menjadi virus yang pelan tapi membinasakan. Taman Api terbukti! Meskipun harus menjadi minoritas di tengah-tengah krisis kejujuran, keteladanan dibutuhkan, selalu waspada karena serangan virus "banci" yang semakin ganas dalam segala lini. Pemikiran cerdas yang tertuang dalam sastra pada waktunya bukan keniscayaan. Lanjutan...

Dwi Suparti SPd MPd
Kediri

Arif Gumantia: Novel yang bagus ya harusnya seperti ini


Arif Gumantia
Majelis Sastra Madiun

Bedah Novel Taman Api di IKIP PGRI Madiun 24 Desember 2011

Waria itu memang sekarang dipandang sebagai penyakit sosial kebanyakan dari kita tanpa kita mengetahui bahwa dia juga punya hak hidup. Oleh Yonathan hal ini diangkat, ada juga ormas-ormas Islam yang garis keras yang suka menggerebek. Jadi 'waria' itu bisa ke mana-mana. Kalau menurut saya novel yang bagus ya harusnya seperti ini. Memang di sana juga ada penokohan, ada konflik, ada perkembangan karakter, detil, itu memang perlu. Tapi bahwa sebuah simbol yang dijadikan tokoh bisa ke arah mana-mana, bisa ke arah lingkungan, bisa ke politik, bisa ke kebijakan pemerintah, dari situ jadi novel itu berkembang. Pembacapun, yang membaca juga punya sesuatu hal yang nantinya mengisi jiwa.

Menurut Rabindanath Tagore, puisi adalah uluran tangan kita yang mengajak kita bergandengan tangan. Kalau novel, saya menyitir Milan Kundera, novel adalah sintesa dari tokoh-tokohnya yang diciptakan oleh penulisnya. Jadi dari tokoh-tokohnya akhirnya akan melahirkan sebuah pertanyaan-pertanyaan. Jadi kalau menurut Milan Kundera, novel yang bagus selalu membuat pembacanya akan bertanya-tanya, apa, apa yang didapat. Kalau sebuah dunia berisi dengan pertanyaan, berisi dengan kritisme, itu akan baik. Tapi kalau sudah berisi jawaban-jawaban dunia itu akan mati. Hal ini saya sangat setuju. Jadi Saat menampilkan sebuah waria, Yonathan tidak memberikan sebuah kesimpulan, kesimpulannya harus begini-begini, Yonathan tidak demikian. Tapi dari pembaca sendiri akhirnya harus berpikir, berkontemplasi. Kebetulan tokoh yang ditokohkan itu memang menimbulkan sesuatu hal yang dilematis, di situ waria. Jadi saya punya pemikiran waria itu kan, selama ini, kita lihat kan ada ahbencong, ah banci, bahkan banci ini menjadikan makna konotatif, denotatif, bisa macam-macam, saling jalin-menjalin, misalkan saat pemerintah, Presiden tidak berani menindak sebuah ormas yang dia melakukan razia-razia, kita pasti bilangnya Presiden banci. Jadi banci itu adalah sebuah posisi yang negatif, padahal dia juga punya hak hidup. Itu pembacaan saya demikian. Untuk perkembangan tokoh seperti Tari dan segala macam, mohon selanjutnya dibaca. Novel ini sangat rekomendatif sekali buat saya.

Ada unsur investigasi di novel Taman Api, Yonathan mengaku ada riset, ada investigasi, di tempat cangkruknya waria duduk-duduk, selain filmis, membaca seperti melihat film juga ada unsur investigatifnya. Yang menarik di sini Yonathan berani mengambil tema sesuatu hal yang menjadi hal problematis di masyarakat, seperti waria. Kalau novel percintaan, yang laki-laki mati, itu kan sudah biasa, itu novel-novel remaja, chicklit, tapi kalau mau berangkat ke novel sastra arahnya ya harus demikian, sesuatu hal yang memang jadi pertempuran ide di sini. Dan dialog harus terjadi terus-menerus antara pembaca dengan isi novel. Saya berharap Novel Taman Api belum ending, kalau bisa Yonathan harusnya menjadikannya seri, atau mungkin tetralogi seperti karya Pramoedya Ananta Toer, pertama Taman Api, yang ke dua apa. Konteks waria ini menarik sekali, di situ ada semacam kemunafikan, sekarang kita bicara tentang uztadz yang di tivi, kita mesti terbuai, dia dengan simbol-simbol religius tanpa religiusitas, peran dia secara sosial kita tidak tahu. Kalau orang sudah bicara agama, dia berkotbah kita mesti manggut-manggut, o iya pasti benar, pasti benar, tidak ada daya nalar kristis, ini juga di singgung di Taman Api bahwa pandangan-pandangan yang bertumpu pada teks tanpa penafsiran yang beragam itu akhirnya menjadi dogma, akhirnya sistemnya menghakimi, padahal kalau namanya menghakimi itu kan hak kekuasaannya ya pada Tuhan, kita tidak boleh menghakimi siapapun, yang penting dia punya hal seperti ini, punya sifat seperti ini, waria itu, ia punya hak hidup, mari kita pikirkan sama-sama dengan dialog bukan dengan kekerasan. Di novel Taman Api dicontohkan sampai pembakaran, Taman Api sampai dibakar gubuk-gubuknya, sampai ada waria yang meninggal, ini betul-betul dramatis dan itu merupakan problem sosial. Juga ada perdebatan kebijakan pemerintah yang selama ini katanya akan memberikan hak hidup luar bagi waria, ternyata di mana-mana pun masih dicederai dan menimbulkan sindrom yang negatif. Itu pembacaan saya tentang Taman Api.

Ikke Fradasari: Ketua Waria Doakan Taman Api


Saya terimakasih ada pemahaman atau penulisan yang demikian bagus. Mudah-mudahan buku ini mendapatkan jalan yang bagus, pengertian masyarakat yang luas, mendapatkan barokah maupun rejeki yang banyak.

Hj. Ikke Fradasari
Ketua Waria Karesidenan Kediri

Aris Kurniawan: Gagasan Besar yang Remuk Redam

Gagasan Besar yang Remuk Redam
(Review Taman Api, Lampung Post: Sabtu, 24 September 2011)

Judul    : Taman Api

Pengarang    : Yonathan Rahardjo

Penerbit : Pustaka Alvabet

Cetakan  : I, Mei 2011

Tebal    : 216 hlm


GAGASAN besar acap lebih menggoda pengarang untuk diketengahkan ketimbang peristiwa-peristiwa kecil. Padahal gagasan besar mempunyai banyak risiko kegagalan jika tidak didukung perangkat yang cukup untuk mewujudkannya. Inilah yang terjadi dengan novel Taman Api garapan Yonathan Rahardjo.

Novel ini mengangkat kisah kaum minoritas seksual, khususnya banci. Novel yang mengusung tema tentang kaum minoritas seksual (LGBT: lesbian, gay, biseksual, dan transgender) memang sudah banyak ditulis. Terutama tentang percintaan sesama jenis, seperti Lelaki Terindah (lelaki dengan lelaki) karya Andrei Aksana dan Garis Tepi Seorang Lesbian besutan Herlinatiens (perempuan dengan perempuan)—untuk menyebut dua judul yang paling populer.

Namun, tentang banci, waria, dan kompleksitas persoalan yang menelikung kaum tersebut, rasanya masih langka. Banci, dalam novel Taman Api merupakan sumbu yang meletupkan kisah yang lebih luas, menyeret wilayah agama, bisnis busuk sekelompok dokter bedah kelamin, kebengisan Polisi Pamong Praja terhadap komunitas banci, sampai penjaja obat kecantikan.

Diceritakan, di sebuah negeri bernama Tanah Air, sindikat kelompok dokter pimpinan Dokter Shahrul, seorang dokter ahli bedah kelamin, dengan memanfaatkan kesatuan Polisi Pamong Praja dan kelompok agama garis keras, melakukan pemberantasan waria yang mangkal di taman-taman kota.

Mereka menangkapi waria, menginterogasi, dan mengedukasi mereka tentang virus HIV—penyebab penyakit AIDS, dan penyebarannya. Tidak hanya itu, sindikasi dokter ini kemudian membius mereka dan mengoperasi secara massal kelamin para waria tersebut menjadi wanita sempurna. Untuk mencapai tujuannya mereka menciptakanchip multifungsi yang dieksperimentasikan di dalam tubuh para banci melalui operasi kelamin. Chip ini mampu mempercepat pengubahan sifat maskulinitas ke femininitas, memonitor pergerakan tubuh, dan merekam pembicaraan. Seluruh data kirim melalui satelit dengan sistem komputerisasi. Melalui chip itu pula mereka akan mendapatkan data perkembangan penyebaran virus HIV. Berdasar data ini, mereka punya alasan kuat memberantas banci layaknya penyakit.

Di sisi lain, ada Dokter Ranto, seorang ahli bedah kelamin juga. Ia menjalankan bisnis penjualan banci elite ke luar negeri. Untuk menjalankan bisnisnya ia memperalat Tari, dengan menjadikan waria kelas menengah itu istrinya. Dibantu Tari, Dokter Ranto mencari banci tercantik yang belum melakukan operasi kelamin. Tari yang tanpa sadar diperalat Ranto berjuang membela hak-hak kaum waria yang sering diperlakukan tidak adil melalui pembentukan asosiasi banci. Ada pula tokoh Reta, seorang pengusaha salon yang melakukan praktek penyuntikan silikon cair ilegal yang merupakan kekasih Dokter Ranto.

Namun, dalam sebuah kejadian tidak disengaja, Priyatna, penjaja obat (medical representatif) yang diam-diam juga seorang tranvestite membongkar semua persekongkolan tersebut. Operasi kelamin massal terhadap waria jalanan dilaporkan ke polisi oleh asosiasi para banci yang didampingi Dokter Ranto. Reta kemudian kabur lantaran praktek suntik silikon cair yang dilakukannya menewaskan seorang banci. Kasus ini tak ayal menyeret Dokter Sahrul, karena dialah pemasok silikon cair ilegal.

Begitulah ringkasan novel Taman Api. Begitu kompleks dan penuh gagasan besar. Namun, sayangnya novel kedua Yonathan Rahardjo, novelis yang juga dokter hewan yang pernah memenangi sayembara novel Dewan Kesenian Jakarta lewat novelLanang (2006) ini, kurang berhasil—untuk tidak mengatakan gagal—mengeksekusi gagasan besar tersebut menjadi novel yang padu dan enak dinikmati.

Penyajian secara filmis yang digunakan sebagai strategi bertutur, alih-alih mengantarkan pembaca mendapatkan visualisasi rentetan adegan dramatis serta gambaran karakter tokoh-tokohnya secara detail dan bernyawa, yang terjadi justru mengganggu kenikmatan pembaca mengikuti kisah. Penuturan terasa tersendat dan terjadi pengulangan saat menjelaskan identitas tokoh-tokohnya. Pengulangan yang sangat mengganggu juga terjadi dalam adegan saat kelompok dokter mengedukasi para waria perihal penyebaran virus HIV dan gejala-gejalanya, (hal 81-83).

Atmosfer dunia kaum banci yang antara lain ditandai melalui cara mereka berkomunikasi dengan menggunakan bahasa yang sangat khas milik mereka, nyaris tidak berbekas. Dialog yang terjadi antarmereka terdengar kaku dengan menggunakan kata-kata bahasa Indonesia yang sempurna. Sehingga gagasan besar akhirnya berhenti menjadi sekadar gagasan. Bahkan kemudian menelan kepedihan nasib kaum waria yang semula hendak diusungnya. Pengarang gagal menarik khalayak pembaca berempati pada nasib kaum waria yang terdiskriminasi. Di titik ini terlihat minimnya bekal pengetahuan yang dimiliki pengarang tentang dunia waria.

Akan lebih menarik kiranya jika Yonathan lebih fokus mengeksplorasi pergulatan kejiwaan kaum waria melalui peristiwa-peristiwa sederhana keseharian mereka. Ketimbang mengusung gagasan besar, tapi berakhir remuk redam.


Aris Kurniawan, pengarang

Sumber: http://lampungpost.com/apresiasi/9909-resensi-buku-gagasan-besar-yang-remuk-redam.html

Stebby Julionatan: MENGHARGAI DUNIA ABU-ABU TAMAN API


Majalah Link-Go Desember 2011

MENGHARGAI DUNIA ABU-ABU TAMAN API

STEBBY JULIONATAN *)


“Aku percaya kebenaran adalah sebuah perbincangan timbal balik antara dua atau lebih permasalahan, bukan hanya satu kemutlakan.” (hal 45)

Kita sadar dunia tidaklah hitam dan putih. Ada warna tengah di antara keduanya. Abu-Abu. Dan dunia itulah yang dibidik oleh Yonathan Raharjo dalam novel keduanya kali ini, Taman Api.

Taman Api membidik persoalan yang jarang disentuh dalam ranah sastra. Ia tidak lagi membidik kehidupan gay, seperti Andrei Aksana dalam Lelaki Terindah, atau lesbian... seperti Herlinatens dalam Garis Tepi Seorang Lesbian. Ia membidik waria. Kehidupan waria yang biasa berkumpul di Taman Api

Taman Api berkisah mengenai kehidupan tiga orang waria penghuni (atau mantan penghuni) Taman Api. Tari, Riris dan Yanti. Tari yang digambarkan dengan segenap tekad dan kesadarannya, mengubah dan mengoperasi kelaminnya menjadi perempuran dengan bantuan seorang dokter bedah profesional bernama dr. Ranto. Riris yang dikisahkan karena sebuah operasi dan konspirasi rahasia yang tidak menghendaki “kaum” mereka, dikoyak dan dioperasi secara paksa untuk menjadi perempuan. Sedang Yanti adalah titik tengah itu. Wilayah abu-abu itu. Ia adalah waria yang bimbang menentukan jati diri dan eksistensinya. Ketiganya “bertemu”, bertaut dan dipersatukan melalui beragam kebetulan yang memang telah diatur dan direncanakan, lewat jalur investigatif dan konspiratif ala Mission Imposible –dimana tokoh-tokohnya tak saling mengenal mengenai siapa yang diberi tugas untuk menjalankan misi dan siapa yang menugasinya, serta mengandung rahasia-rahasia dan kepentingan yang melibatkan para pemegang kekuasaan.

Teknik filmis-jurnalistik, tanpa pendekatan emosi sama sekali terhadap tokoh-tokohnya, mengingatkan pada gaya menulis Sjumanjaya, yang kali ini diolah dan digunakan kembali oleh Yonathan Rahardjo dengan teknik baru yang lebih kering dan lebih dingin. Tentunya teknik ini bisa menjadi suatu kekuatan atau malah menjadi titik kelemahan novel ini. Tergantung dari sudut mana pembacanya menilai.

Membaca Taman Api seakan disuguhi sebuah film yang menyediakan ruang dan pembacaan yang begitu berjarak dengan penikmatnya.

Akibat ruang dan jarak yang disediakan,  Yonathan Rahardjo tak ubahnya seperti dr. Spencer Lecher (yang notabene profesi mereka sama, seorang dokter) dalam Hanibal, yang dengan begitu tega, dingin, tanpa perasaan...  menguliti korbannya. Yonathan Rahardjo tak peduli kalau korbannya itu sudah berteriak-teriak minta ampun dan memintanya berhenti melakukan penyiksaan itu.

Yonathan Rahardjo seakan mengajak pembacanya untuk berwisata ke sebuah gurun, ke sebuah padang pasir yang luas sekali, lalu meninggalkan mereka begitu saja di sana tanpa bekal, tanpa rambu, ataupun tanda-tanda untuk mereka bisa keluar dari sana atau setidaknya menjangkau oase yang terdekat.

Bagi saya pribadi, pendekatan atau teknik filmis-jurnalistik yang digunakan Yonathan Rahardjo dalam Taman Api, merupakan sebuah keunggulan novel ini. Sebab saya dipaksa untuk memiliki empati dan simpati kita sendiri, tanpa terpengaruh sedikitpun oleh empati atau rasa simpati orang lain, termasuk empati dan simpati dari penulisnya, terhadap objek yang dibicarakan oleh Yonathan Rahardjo dalam novelnya (baca: waria).

Sehingga, setelah selesai membaca Bab Satu, Peta Perjanjian, saya yang memang awam pada dunia medis, dibuat bertanya: “Apakah waria yang sudah ganti kelamin, dari lelaki menjadi perempuan, bisa merasakan nikmatnya sensasi orgasme layaknya wanita?” Jujur... bagi saya pribadi, timbul kembali sebuah iba, sebuah empati atau malah sudah beranjak pada simpati, “Kasihan ya mereka.... jikalau dengan operasi ganti kelamin yang menghabiskan dana ratusan juta rupiah, mereka tak mendapatkan kenikmatan tersebut saat behubungan intim dengan pasangannya kelak, lha apa gunanya operasi tersebut?!”

Untungnya Yonathan Rahardjo memberikan jawaban tersebut pada bab berikutnya.

Yonathan Raharjo juga membiarkan pembacanya, kembali meninggalan mereka di gurun kebimbangan, serta tak sedikitpun memberikan keberpihakannya terhadap “kebaikan” mana yang harus dipilih oleh pembacanya. Sebagai waria yang dipukuli atau orang-orang yang dasar agama, berteriak-teriak dan memusuhi mereka.

Hal itu berlangsung terus sepanjang cerita. Sayangnya, menjelang akhir Yonathan Rahardjo mulai lelah untuk terus terusan mempertahankan pendapatnya, mempertahankan ketahanan dirinya yang sudah membiru dan babak belur dihajar “massa”. Yonathan Rahardjo mungkin terpaksa harus mengalah kepada pendapat umum, mengalah pada stigma masyarakat dan (malah) turut menjadi hakim pada apa-apa yang sudah ia bangun dan ia letakkan pada porsi dan pondasinya masing-masing. Turut menjadi “Petani Agung” yang memisahkan tuaian dan siangan.

“...Kurasakan manfaat lain yang jauh lebih besar dari semua ini, mendorongku untuk membuat program-program pemberantasan sifat dan sikap banci lebih menyeluruh, tak terbatas pada identitas seksualitas, tapi juga pada masalah-masalah keluarga, pendidikan, agama, bisnis, ekonomi, sosial, pelayanan masyarakat, kepemimpinan dalam pemerintahan, hukum bahkan hubungan internasional, tatanan keseimbangan alam dan masih banyak lagi sebanyak bintang di langit.”
....
“Ya tadi itu, pemberantasan sifat dan sikap banci di segala bidang. Tak terbatas pada identitas seksualitas. Tapi juga pada berbagai masalah kehidupan.”
“Apa andalan gerakan ini?”
“Operasi kelamin dan chip.”
“Bagaimana mekanisme kerjanya untuk pemberantasan sikap dan sifat banci di bidang non-seksual ini?”
“Kita tunggu saja, Hen.” (hal 194-195)

Sebagai penutup, jujur, saya belum membaca “Lanang”, novel karya Yonathan Rahardjo yang memenangkan Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta 2006, sehingga sukar bagi saya untuk membandingkan kualitas karyanya yang sekarang, Taman Api, dengan novel pendahulunya. Tapi, jujur (lagi), Taman Api adalah novel yang menarik untuk menjadi bahan perenungan bagi kita yang hidup di dunia yang tak hanya hitam, tak hanya putih, namun masih tersembul warna lain di antaranya. Abu-abu. (tby)

*) peresensi adalah penggiat sastra, penulis novel LAN, dan peraih penghargaan Penulis Muda Berbakat 2007 versi kolomkita.com