Lingua Franca: Jurnal Bahasa,
Sastra, dan Pengajarannya
P-ISSN: 2302-5778 Vol 6 No. 1
Februari 2018 Hal 1 – 11 E-ISSN:
2580-3225 Vol 2 No. 1 Februari 2018 Hal 1 – 11
HABITUS DAN ARENA DALAM NOVEL TAMAN
API
KARYA YONATHAN RAHARDJO
Everhard
Markiano Solissa
Universitas Pattimura
Mahasiswa S-3 Pendidikan Bahasa dan
Sastra Universitas Negeri Surabaya
1TUeversolissa@yahoo.comU1T
ABSTRAK Karya sastra lahir dari latar belakang dan
dorongan dasar manusia untuk mengungkapkan eksisitensi dirinya. Karya sastra
lahir bukan dari ruang kosong melompong, tetapi dari sebuah interaksi dengan
realitas kehidupan manusia. Salah satu realitas dalam kehidupan dunia
kontemporer sekarang ini adalah adanya
krisis identitas dan subjektivitas. Tujuan penelitian ini adalah menemukan dan
mendeskripsikan habitus dan arena dalam novel Taman Api karya Yonathan Rahrdjo.
Data dikumpulkan dengan teknik pustaka. Dengan menggunakan teori medan sastra
Pierre Bourdieu, ditemukan bahwa (1) novel Taman Api menggambarkan bentuk
habitus atau cara pandang seseorang dalam menentukan tindakan. Habitus agen
terus bergerak dari waktu ke waktu. Pergerakan itu diakibatkan oleh pengalaman,
didikan, atau bahkan pergaulan; (2) arena dalam novel Taman Api berupa arena
kedokteran yang dianggap arena orang berkelas. Namun demikian, dalam arena ini
agen-agenya tidak mencerminkan akhlak yang baik. Arena berikutnya adalah arena
bisnis di mana setiap agen berupaya menjalankan fungsi dengan sebaik-baiknya
agar jaringan yang dibangun tetap bertahan untuk kepentingan bersama yaitu saling
menguntungkan. Arena yang terakhir adalah arena waria. Setiap agen dalam arena
ini dianggap perusak tatanan moralitas, dan sering menjadi sasaran kekerasan
penguasa.
Kata Kunci: karya sastra, medan
sastra, agen, habitus, arena
ABSTRACT Literary works are born of the background and
the basic human impetus to express their existence. They are not born of an
empty space, but of an interaction with the reality of human life. One of the
contemporary world life realities today is the existence of an identity and
subjectivity crisis. The objectives of this research are to find and to
describe the habitus and arena in the novel Taman Api by Yonantha Rahardjo. The
data are collected by the library techniques. By using literary fields theory
of Pierre Bourdieu, some issues are found. Those are (1) the novel Taman Api
depicts the form of habitus or someone’s perspective in determining the action.
Habitus of the agent keeps moving from time to time. The movement is caused by
experiences, education, or even intercommunication; (2) the arena in the novel
Taman Api is in the form of medic which is considered as the arena of the
elite. Nevertheless, in this arena, the agents do not reflect good morals.
Another arena is business where each
agent makes serious efforts to perform his function as well as possible in
order that networks remain for the mutual benefit. The last arena is a
transvestite. Each agent, in this arena, is considered as a destroyer of the
order of morality and is often subjected to the violence of the ruler.
Keywords: literary works, literary
fields, agent, habitus, arena
PENDAHULUAN Karya sastra lahir dari pengekspresian
endapan pengalaman yang telah ada dalam jiwa pengarang secara mendalam melalui
proses imajinasi (Nurgiyantoro, 2010:57). Karya sastra lahir dari latar
belakang dan dorongan dasar manusia untuk mengungkapkan eksisitensi dirinya.
Sebuah karya sastra dipersepsikan sebagai ungkapan realitas kehidupan dan
konteks penyajiannya disusun secara terstruktur, menarik, serta menggunakan
media bahasa berupa teks.
Salah satu realitas dalam kehidupan
dunia kontemporer sekarang ini adalah
adanya krisis identitas dan subjektivitas. Krisis ditandai dengan upaya
pencarian identitas berupa operasi wajah, pembuatan tato, pemakaian anting,
rambut di-rebounding, bahkan sampai pada operasi kelamin.
Hal-hal tersebut menjadi objek yang
menarik untuk diperbincangkan bukan saja dalam dialog-dialog, seminar-seminar,
tetapi juga dalam karya sastra. Salah satunya adalah masalah transgender.
0TTransgender0T adalah istilah yang digunakan untuk mendeskripsikan orang yang
melakukan, merasa, berpikir atau terlihat berbeda dari jenis kelamin yang sejak
lahir mereka dapatkan, atau jelasnya bisa dikatakan sebagai lelaki yang
mengubah dirinya menjadi perempuan atau sebaliknya.
Novel Taman Api yang ditulis oleh
Yonathan Rahardjo adalah salah satu novel yang mengangkat sisi lain kaum
transgender (kaum waria). Novel ini merupakan novel kedua yang ditulis oleh
Yonathan Rahadjo. Ia adalah seorang dokter hewan yang begitu tertarik untuk
menceritakan hal-hal yang tidak biasa dalam masyarakat. Yonathan Rahardjo
adalah salah satu pemenang sayembara novel Dewan Kesenian Jakarta 2006. Ia
adalah salah satu penulis Indonesia yang terpilih mengikuti Ubud Writers and
Readers Festival (UWRF) tahun 2009 di Bali.
Kisah yang ditulis oleh Yonathan
Rahardjo dalam novel Taman Api akan dikaji dengan teori medan sastra. Teori
medan sastra memandang masyarakat sebagai penghuni blok-blok atau
wilayahwilayah yang dibuat berdasarkan persamaan pola pikir, presepsi dan
pengalaman. Dalam teori ini setiap individu akan ditempatkan atau memiliki
wilayah masing-masing sesuai dengan kemampuannya dalam berpikir dan
beradaptasi.
Ada dua macam konsep yang ditawarkan
oleh Pierre Bourdiue dalam teori ini yaitu habitus dan arena, konsep yang
saling mendukung dan saling berkaitan. Dapat dijelaskan dengan singkat
bahwa jika seseorang memiliki pola pikir
atau pandangan yang mengstigma kaum waria sebagai pendosa karena Tuhan hanya
menciptakan laki-laki dan perempuan, maka orang tersebut dapat hidup dalam
arena atau wilayah kaum agamis yang dominan.
Menurut Fashri (2014:99), habitus
dapat dirumuskan sebagai sebuah struktur sosial yang dibatinkan yang
diwujudkan. Atau dengan kata lain habitus adalah hasil pengalaman pribadi
seseorang tentang nilai-nilai sosial, terstuktur dan berlangsung lama,
mengendap dalam pikiran dan menjadi sebuah cara pandang atau pola pikir.
Habitus seseorang begitu kuat,
sampai mempengaruhi perkembangan pemikirannya. Habitus yang sudah begitu kuat
tertanam serta mengendap menjadi perilaku fisik disebutnya sebagai Hexis. Hexis
sendiri dapat mempengaruhi pola pemikiran seseorang sehingga dapat membuatnya
menjadi pemikir yang kurang kritis karena menilai sesuatu berdasarkan pengalaman
dan pola pandangnya saja (Wattimena 2012:2)
Bordieu memaparkan bahwa habitus
seseorang dipengaruhi oleh beberapa hal, antara lain:
1) Kapital/Modal
Kapital
adalah modal yang memungkinkan kita untuk mendapatkan kesempatan-kesempatan di
dalam hidup. Ada banyak jenis kapital, seperti kapital intelektual
(pendidikan), kapital ekonomi (uang), dan kapital budaya (latar belakang dan
jaringan). Kapital bisa diperoleh, jika orang memiliki habitus yang tepat dalam
hidupnya.
2) Kelas
Bourdieu (2015:ix) mengemukaan bahwa
sistem dominasi dalam sebuah arena telah mengklasifikasikan agen dalam
kelas-kelas tertentu. Setiap kelas memiliki sikap, selera, kebiasaan, perilaku
atau bahkan modal yang berbeda.
Bourdieu membedakan kelas menjadi
tiga. Pembedaan ini sekali lagi didasarkan pada faktor pemilihan modal tadi.
Pertama, kelas dominan (Bourdieu 2015:216). Kelas dominan adalah pemilikan
modal yang cukup besar. Kedua, kelas borjouis kecil (Bourdieu, 2015:217), yaitu
mereka memiliki keinginan untuk menaiki tangga sosial, akan tetapi mereka
menempati kelas menengah dalam struktur masyarakat. Ketiga, kelas
popular/terdominasi (Bourdieu, 2015:216). Kelas ini merupakan kelas yang hampir
tidak memiliki modal, baik modal ekonomi, modal budaya maupun modal simbolik.
3) Dominasi
Simbolik
Dominasi simbolik adalah penindasan
dengan menggunakan simbol-simbol. Penindasan ini tidak dirasakan sebagai
penindasan, tetapi sebagai sesuatu yang secara normal perlu dilakukan. Artinya,
penindasan tersebut telah mendapatkan persetujuan dari pihak yang ditindas itu
sendiri (Bourdieu dalam Wattimena, 2012:7). Menurut Bourdieu, kekerasan berada
dalam lingkup kekuasaan.
4) Pembedaan
Bourdieu (Wattimena, 2012:5)
merumuskan konsep pembedaan (distinction) sebagai tindakan membedakan diri yang
dilakukan oleh seseorang untuk menunjukkan kelasnya dalam masyarakat. Biasanya,
pembedaan dilakukan oleh kelas menengah ke atas untuk menunjukkan statusnya
yang khas dibandingkan dengan kelas ekonomi yang lebih rendah.
5) Perubahan
Sosial dan Kebebasan
Perubahan sosial bisa dilakukan,
jika seseorang memiliki kapital yang mendukung serta dapat memilih arena yang
tepat untuk menempatkan dirinya agar orang tersebut mendapatkan habitus yang
baik pula (Wattimena, 2012:8). Perubahan sosial hanya mungkin, jika manusia
bukan merupakan “budak” dari sistem sosial yang mengitarinya. Dengan kata lain,
perubahan sosial hanya mungkin, jika ada kebebasan. Bagi Bourdieu, kebebasan
adalah suatu bentuk improvisasi yang menghasilkan variasi. Artinya, kebebasan
adalah perubahan yang dapat menciptakan sesuatu.
Bourdieu (2015:213)
mendefinisikan arena sebagai sebuah
semesta sosial terpisah yang memiliki hukum-hukum keberfungsiannya sendiri.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa ada berbagai macam arena seperti
pendidikan, arena bisnis, arena seniman, dan arena politik. Arena pendidikan
memiliki aturannya sendiri.
Fashri (2014:106) menjelaskan bahwa
arena adalah ruang yang di dalamnya terdapat upaya perjuangan untuk
memperebutkan sumber daya (modal) dan juga untuk memperoleh akses tertentu yang
dekat dekan kekuasaan. Dengan demikian, dalam arena setiap individu atau
kelompok digiring untuk merancang strategi dan menggunakan strategi itu untuk
meraih posisi. Persaingan menjadi hal yang lumrah, karena setiap strategi telah
memperhitungkan hal tersebut. Persaingan yang sehat akan menghasilkan sesuatu
yang baik, namun persaingan yang tidak sehat akan menimbulkan konflik.
Konsep arena ikut mendukung habitus seseorang
(Wattimena, 2012:3). Artinya, arena dan habitus sangat terikat erat. Untuk bisa
berhasil dalam salah satu arena hidup, orang perlu mempunyai habitus yang tepat
untuk arena itu. Jika ia tidak memiliki habitus yang tepat untuk satu arena,
maka ia, kemungkinan besar, akan gagal dalam arena yang telah ia pilih
tersebut.
METODE Penelitian ini termasuk penelitian
kualitatif, yaitu penelitian yang mengungkap gejala atau fenomena secara
menyeluruh dan kontekstual tentang topik yang diteliti (Moleong, 2008:6).
Penelitian ini bersifat deskriptif yaitu memberikan gambaran secara jelas
tentang habitus dan arena dalam novel Taman Api karya Yonathan Rahardjo.
Data diperoleh melalui teknik
pustaka, yaitu dengan mempergunakan sumber-sumber tertulis untuk memperoleh
data.
Dalam teknik pustaka, peneliti
sebagai instrumen kunci melakukan pembacaan dan pencatatan secara cermat,
terarah, dan teliti terhadap sumber data yakni novel Taman Api. Pada saat
melakukan pembacaan, peneliti sekaligus mencatat bagian-bagian novel, dalam hal
ini kata dan kalimat yang berkaitan dengan tujuan penelitian. Pembacaan
dilakukan secara berulang-ulang sehingga data yang dikumpulkan lebih akurat.
Analisis data penelitian ini
menggunakan model spiral yang dikemukakan oleh Creswell (2014:254). Dengan
demikian, proses mengidentifikasi agen, mengidentifikasi watak tokoh,
mengidentifikasi perbuatan/tindakan agen, dan mengidentifikasi habitus dan
arena dilakukan dengan cermat dan berulang-ulang untuk memperoleh hasil yang
memadai.
PEMBAHASAN Habitus dalam Novel Taman Api
Tari adalah seorang tokoh pria yang
diceritakan memiliki kelainan seksual sejak kecil yang membuatnya berbeda dari
kaumnya saat itu. Dia kemudian bertumbuh dewasa dengan kelainan yang membuatnya
sulit beradaptasi dengan lingkungannya. Penerimaan yang tidak begitu
menyenangkan dari masyarakat sekitar membuatnya menjadi semakin yakin bahwa dia
adalah sosok wanita yang terkungkung dalam tubuh seorang pria. Dia tidak
mempedulikan masyarakat sekitarnya bahkan dia merasa nyaman hidup sebagai pria
berperilaku ganda. Karena adanya dorongan dari dalam dirinya hingga dia
menetapkan pilihannya untuk benar-benar meninggalkan jati dirinya sebagai
seorang pria dan mengikuti kata hatinya yang cenderung menerima kenyataan
sosoknya sebagai wanita. Nona Tari kemudian mengambil pilihan untuk mengubah
bentuk fisiknya menjadi seorang wanita tulen dengan sedikit perubahan pada
tubuhnya.
Pemikiran yang terkonsep dengan baik
ini membuatnya menentukan pilihan hidup yang sulit ketika dia memasuki usia
dewasa. Bagi sebagian orang, menentukan pilihan dalam hidup adalah sebuah
pekerjaan yang tidak mudah apalagi harus menentukan pilihan-pilihan yang
semuanya adalah baik adanya. Begitu pula dengan tokoh Nona Tari. Dia harus
mengambil keputusan untuk menjadikan sosok dirinya sebagai seorang pria atau
seorang wanita.
Pemikiran dan pengalaman yang Nona
Tari dapatkan dari masa kecil hingga dewasa membuatnya harus bergulat hebat
dengan dirinya untuk menentukan jati dirinya yang sebenarnya. Nona Tari memilih
menjadi seorang wanita karena bagi dirinya dia memang terlahir dengan jiwa
seorang wanita hanya saja terjebak dalam tubuh seorang pria. Pada masa dewasa
Nona Tari memutuskan hal tersulit dalam hidupnya untuk mengakhiri kodratnya
sebagai pria yang diciptakan Tuhan, atau menyenangkan dirinya yang selama ini
merasa asing dalam tubuh seorang pria untuk menjadi seorang wanita. Nona Tari
memilih mengubah dirinya.
Masalah kegamangan identitas mulai
dirasakan oleh tokoh Nona Tari di dalam cerita ini, dia merasa bahwa dirinya
yang merupakan sosok pria harus dapat diubah menjadi sosok wanita yang selama
ini diharapkannya dari dirinya sendiri. Menjadi sebagai seorang wanita. Hal
tersebut tampak dalam kutipan berikut.
“Wanita itu ‘kan cuma pake susu
saja, ya untung-untung kalau susunya montok. Lebih-lebih yang saya tahu cuma
bukit kecil saja, dok. Jadi perempuan itu gampang kan dok” (Rahardjo, 2011:3).
Nona Tari memilih menjadi seorang
wanita dengan melakukan beberapa perubahan pada tubuhnya sendiri. Dalam
pikirannya dia bukanlah seorang pria namun dia hanya terjebak dalam tubuh pria.
Untuk itu, dia harus mengakhiri kenyataan itu agar sesuai dengan harapan yang
digambarkannya selama ini di dalam pikirannya. Hal tersebut tampak dalam data
berikut.
“Coba turuti perintah saya …” kata
dokter saat malam itu, diturutinya dengan penuh patuh, sambil mengingat kata
dokter yang cukup menghibur. “Nanti
kalau payudara sudah besar sesuai keinginan dan penggunaan pil hormon esterogen
dihentikan, dengan sendirinya alat kelamin utama akan normal kembali, “ujar
dokter. (Rahardjo, 2011:20).
Namun, masalah kembali muncul ketika
dia menyadari bahwa dia memiliki organ kelamin yang tidak dapat terbantahkan
adalah penis. Rasa bersalahnya pun muncul ketika dia temukan bahwa akibat
pengoperasian payudaranya, organ kelamin utamanya sudah tidak berfungsi dengan
baik. Pemikirannya menjadi seorang wanita kemudian sedikit tergoyahkan dengan
rasa cemasnya terhadap kurang berfungsinya kelamin utamanya. Di sini harapannya
untuk menyamakan diri dengan kaum wanita menjadi sedikit diragukan.
Nona Tari kemudian menyadari bahwa
tujuannya dari dulu adalah menyamai dirinya dengan sosok yang disebut wanita
itu. Nona Tari kemudian mencoba menindaklanjuti keinginannya yang besar itu
untuk menjadikan dirinya sebagai wanita yang utuh. Dia memilih membentuk organ
kelamin wanita di antara kedua pahanya. Hal itu tampak pada data berikut.
Namun setelah sekian lama hidup
dengan alat kelamin utama laki-laki dan alat kelamin sekunder perempuan, ia
mulai merasa dirinya seperti monster. Tumbuh perasaan tak nyaman. Maka, kini
saatnya mewujudkan semua impian. Sudah waktunya dokter menganggap layak keberadaanya
sebagai perempuan, dan setuju tindakan operasi kelamin terhadapnya (Rahardjo,
2011: 9).
Pemikirannya yang terstruktur sejak
kecil akibat keganjilan pada dirinya membentuk pribadinya menjadi lebih berani
untuk melakukan hal tersulit dalam hidupnya. Dia kini sudah memiliki sebuah
vagina yang artinya dirinya kini sudah dapat disebut sebagai seorang wanita.
Arena dalam Novel Taman Api
Dalam novel Taman Api, diceritakan
bahwa tokoh Nona Tari menemukan wilayah hidup (arena) yang menyenangkan yang menurutnya
adalah tempat dirinya tercipta. Arena yang dimaksud adalah kehidupan yang
tergolong dalam kelas dominan, kelompok orang bermodal yang membedakan kelasnya
dari kelompok yang lain. Hal tersebut tampak pada kutipan berikut.
“Sangat menyenangkan menjadi seorang
putri. Itulah aku yang kali ini memakai gaun merah tua. Dalam kerumunan para
hadirin di galeri megah bergengsi, ia lintasi para hadirin yang sebagian
melihat-lihat lukisan-lukisan yang tergantung di dinding galeri “ (Rahardjo,
2011:13).
Hal tersebut menunjukkan bahwa arena
bisnis dalam kelas dominan yang telah menjadi arena kehidupan nona Tari adalah
sebuah arena kelas elite. Yang dapat memasuki wilayah ini adalah mereka yang
punya modal besar, ditandai dengan pakaian yang mahal buatan luar negeri,
asesoris (tas, anting, dll) dengan merek terkenal, mobil dengan lebel kelas
atas.
Arena kehidupan yang dipilih nona
Tari mengharuskan ia berlomba, berjuang agar dapat tetap bertahan dan menang
dapam arena itu. Karena itu, Nona Tari harus memiliki intelektual sebagai modal
(kapital). Nona Tari memiliki hal ini, Dia memiliki intelektual di atas
rata-rata yang menurut beberapa orang lebih dari kaum waria yang lainnya. Hal
tersebut tampak pada data berikut.
Oke Tari. Aku minta kamu menjadi
manajer dalam bisnis yang kupimpin”
“Bisnis dengan Mister Patrick untuk
memasok kaum waria ke negeri canggih ya Mas?”
“Tepat, kamu cerdas Tari, namun
hanya waria-waria unggulan sajalah yang kita kirimkan karena mereka akan
menjadi duta negara kita. Jangan sampai mempermalukan bangsa”
“Kenapa harus aku, Mas?”
“Karena hanya kamulah yang memiliki
intelektual yang tinggi di antara teman-teman sesamamu” (Rahardjo, 2011:164).
Tokoh Tari dalam novel Taman Api
berupaya menjadi seseorang yang dapat dipandang sebagai seorang wanita bukan
lagi sebagi kaum waria. Dia berupaya membentuk kepribadiannya menjadi wanita
pintar yang berintelektual sehingga dapat berinteraksi baik dengan
wanita-wanita lain dalam kaum dominan, bahkan dengan kepintarannnya Tari
menjadi sosok yang dihargai dalam pandangan kaum dominan.
Untuk hidup di wilayah ini, Nona
Tari mesti memiliki kondisi ekonomi yang
mapan. Karena dengan modal uang Nona Tari dapat menjadikan dirinya
sebagai salah satu anggota dari arena yang diinginkannya ini. Hal itu tampak
pada kutipan berikut.
Sedan ungu melintasi jalan-jalan
yang nyaris kosong, seakan pengendara sedan adalah pemilik ibu kota yang megah
penuh kerlip emas lampu pada malam hitam. ‘Aku beruntung bisa hidup nyaman…’
waria Tari yang di dalam mobil sedan mengatakan pada diri sendiri. Pada malam
berlangit biru, sedan ungu itu masuk kehalaman sebuah rumah megah. Begitu Tari
si pengendara sedan itu masuk ke rumah tersebut, malam betul-betul menjadi
miliknya (Rahardjo, 2011:40―41)
Nona Tari paham betul untuk menjadi
seseorang yang terpandang dia harus memiliki uang yang cukup agar dapat
mengubah dirinya. Dengan menggunakan barang mahal Nona Tari percaya dia sanggup
diterima dalam kaum dominan yang selama ini dianggapnya sebagai kaum berkelas.
Bukan hanya modal uang yang harus
Nona Tari penuhi agar dapat menempati wilayah kaum wanita, namun dia harus
mampu menjalin kerja sama yang baik (modal jaringan) dengan agen-agen dalam
wilayah ini yang menduduki posisi-posisi penting. Hal tersebut dapat dilihat
ada kutipan berikut.
“Pembawa acara memulai pembahasan
tentang perubahan jenis kelamin bintang waria terkenal, Tari, yang telah
menjalani operasi. Tari didampingi oleh beberapa koleganya yang memang
terpandang di masyarakat, dia hadirkan dokter Ranto, seorang ahli agama dan
Bapak
Lazuardi seorang petinggi polisi”
(Rahardjo, 2011: 85)
Nona Tari mengerti bahwa kaum waria
dalam pandangan masyarakat luas adalah kelompok masyarakat kelas dua yang
kurang terpandang dan kadang tidak dipandang dalam masyarakat.
Untuk itu, dia harus menjalin kerja
sama yang baik dengan orangorang kelas atas yaitu kaum dominan. Data berikut
ini menunjukkan hal tersebut.
“Tari, sang empunya pikiran, berjalan
berlenggok melintas pada keramaian pesta malam. Dalam kerumunan orang yang
hadiri pembukaan galeri lukisan itu, Tari tampak sangat cantik dan menarik
(Rahardjo, 2011:13).
Bagi Nona Tari untuk menjadi sama
dengan anggota kolektif arena kaum dominan maka dirinya harus banyak
berkecimpun dalam acara-acara besar yang berkelas yang dibuat oleh kaum
dominan. Karena ketika dia mengikuti acara-acara tersebut dia sudah dapat
dikatakan layak untuk bergabung dalam arena tersebut.
Nona Tari menyadari jauh lebih baik
dan akan sangat gampang untuk menjadi agen dari kaum wanita dan bahkan diakui
sebagai seorang wanita jika dia menikah dengan seorang pria. Itu berarti dia
memang sudah layak disebut sebagai wanita. Hal tersebut dapat dilihat pada
dialog Tari dan dokter Ranto.
“Sebab aku ingin memilikimu, Tari”
“Kan Mas sudah memilikiku,”
“Maksudku memperisterimu,”
Tari hanya tersipu malu mendengar
ucapan dokter Ranto
(Rahardjo, 2011:166)
Impian terbesar dalam hidup nona
Tari adalah menjadi wanita sempurna, yaitu menikah. Sebab percuma semua hal
yang ia perjuangkan jika impiannya tidak tercapai.
Arena dalam Novel Taman Api dapat
divisualkan visual sebagai berikut.
Gambar 2. Arena dalam Novel Taman
Api
Arena bisnis ditempati oleh
agen-agen seperti Mr. Patric, Dokter Ranto, Nona Tari. Dalam arena ini
agen-agen melaksanakan fungsinya dengan baik agar jaringan yang dibangun tetap
bertahan untuk kepentingan bersama. Bisnis yang dijalani oleh ketiga agen ini
adalah membawa waria dari negeri tanah air ke negeri canggih untuk mengikuti
kontes waria tingkat dunia. Tokoh Tari dipercaya sebagai manager dalam bisnis ini.
Ini menunjukkan bahwa tokoh Tari berhasil masuk dalam arena kelas dominan
dengan modal intelektual dan modal kekayaan.
Arena yang kedua adalah arena kaum
waria. Arena ini ditempati oleh agen Riris, Juli, Yanti dll. Dalam arena ini,
para agen tidak mendapat kepastian hukum karena masalah jenis kelamin yang
tidak jelas. Dari segi agama, para agen dalam arena ini dianggap sebagai
pendosa sehingga mereka selalu dikucilkan bahkan mendapat kekeran fisik dari
agen-agen pemerintah (satpol pramong praja). Wujud arena kaum waria adalah
tempat tempat kos di wilayah pinggiran, taman-taman kota, rel kereta api, dan
pinggiran jalan. Arena kaum waria adalah arena penuh perjuangan, tidak
mengenakkan, sebuah arena yang tidak diidam-idamkan oleh siapa pun kecuali
mereka yang habitusnya telah dibentuk untuk itu.
Arena yang terakhir adalah arena
kedokteran yang ditempati oleh agen dokter Ranto, dokter Sahrul, dan dokter
Hendri. Dalam arena ini para agen dihormati karena profesi ini dianggap sebagai
malaikat penolong bagi mereka yang ingin melakukan operasi kelamin. Namun
demikian, dalam arena ini penuh persaingan antar agen untuk memperoleh pasien.
Bahkan para agen melakukan bisnis yang bertentangan dengan etika kedokteran
untuk meraup keuntungan sebesar-besarnya. Hal ini disebabkan oleh habitus para
agen bahwa ketenaran dan kehormatan hanya dapat diperoleh dengan mengumpulkan
uang dan harta sebanyak-banyaknya.
SIMPULAN Novel Taman Api menggambarkan bentuk habitus
atau cara pandang seseorang dalam menentukan tindakan tokoh. Habitus para tokoh
cerita terus bergerak dari waktu ke waktu. Pergerakan itu diakibatkan oleh
pengalaman, didikan, atau bahkan pergaulan.
Perubahan dan pergerakan habitus ini
berlangsung terusmenerus sehingga dapat menempatkan seseorang menjadi bagian
dari sebuah arena. Namun, terkadang perubahan-perubahan habitus ini berlangsung
secara tidak rasional sehingga terjadi pemaksaan dan tindakan kekerasan hingga
upaya diskriminasi dari beberapa kaum yang secara sengaja dilakukan untuk
membuat kaum lain merasa termarjinalkan.
Arena dalam novel Taman Api dibagi
tiga. Pertama, arena kedokteran. Dalam arena ini setiap agen dihormati,
dianggap orang berkelas. Namun di balik itu semua, penampilan sebagai kelompok
dominan tidak mencerminkan akhlak yang baik. Hal ini karena habitus agen-agen
ini dikotori oleh keinginan mendapatkan pendapatan yang besar tetapi dengan
cara yang tidak benar. Kedua, arena bisnis. Dalam arena ini setiap agen
berupaya menjalankan fungsi dengan sebaik-baiknya agar jaringan yang dibangun
tetap bertahan untuk kepentingan bersama yaitu saling menguntungkan. Namun
demikian, dalam arena ini agen lain dikorbankan yaitu para waria. Ketiga, arena
waria. Dalam arena ini, setiap agen dianggap perusak tatanan moralitas, dan
sering menjadi sasaran kekerasan penguasa yang disimbolkan oleh petugas Satpol
Pamong Praja. Habitus penguasa telah terbentuk dengan sebuah stigma bahwa kaum
waria adalah penyebab rusaknya moral bangsa, waria adalah sumber penyebaran HIV
AIDS sehingga harus dimusnahkan.
DAFTAR PUSTAKA
Bourdieu, Pierre. 2015 (cetakan
ketiga). Pierre Bourdieu. Arena Produksi Kultural Sebuah Kajian Sosiologi
Budaya (Diterjemahkan oleh Yudi Santoso) Bantul:
Kreasi Wacana.
Creswell, John W. 2014. Penelitian
Kualitatif dan Desain Riset.
Memilih di antara lima
pendekatan. (alih bahasa oleh
Ahmad Lintang Lazuardi).Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Fashri, Fauzi. 2014. Pierre Boudieu.
Menyingkap Kuasa Simbol.
Yogyakarta: Jalasutra.
Moleong, Lexy J. 2008. Metodologi
Penelitian Kualitatif. Bandung: PT.Remaja Rosdakarya.
Nurgiyantoro, Burhan. 2010.
Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta:
Gajah Mada University Press
Rahardjo, Yonathan. 2011. Taman Api.
Jakarta: Pustaka Alvabet.
Wattimena, Reza A.A. 2012. Berpikir
Kritis bersama Pierre Bourdieu. http://rumahfilsafat.com/2012/04/
14/sosiologi-kritis-dan-sosiologireflektif-pemikiran-pierrebourdieu/ Diakses
tanggal 19 September 2015.
No comments:
Post a Comment