DEIKSIS Vol.
10 No.02, Mei-Agustus 2018
p-ISSN: 2085-2274, e-ISSN 2502-227X hal.
125-133
PENYIMPANGAN PERILAKU SEKS WARIA DALAM NOVEL
TAMAN API KARYA YONATHAN RAHARDJO
Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Jurusan Bahasa dan Seni, STKIP PGRI Ponorogo
Lucydheny77@gmail.com
Abstrak
Salah satu realitas sosial yang dianggap masalah dalam
amsyarakat dan menjadi fenomena adalah kederadaan kaum waria. Waria dianggap
sebagai perusak moral, masalah sosial, kesehatan, dan patologi sosial.
Terdeskriminasinya kaum waria dari masyarakat secara umum menjadikan kehidupan
kaum waria tidak banyak diketahu oleh khalayak. Waria dengan segala gaya
hidupnya sebagian besar masyarakat menganggap sebagai sebuah penyimpangan.
Penelitian ini menitik beratkan pada penyimpangan perilaku seksual waria dalam
novel Taman Api karya Yonathan Rahardjo. Desain penelitian yang digunakan
adalah deskriptif kualitatif . Data pada penelitian ini berupa hasil telaah
dari novel Taman Api Karya Yonathan Rahardjo. Sumber data primer berupa kalimat
dalam novel Taman Api karya Yonathan Rahardjo. Sumber data sekunder adalah
sumber data kepustakaan yaitu berupa buku, jurnal, artikel ilmiah. Teknik
pengumpulan data menggunakan teknik Content analysis,. Teknik validitas data
mempergunakan teknik trianggulasi data atau sumber.Teknik analisis adalah
analisis model interaktif (Interactive Model Analysis). Hasil penelitian ini
menunjukkan dalam novel Taman Api terdapat (a) seks sesama jenis, (b) dunia
prostitusi, dan (c) rekontruksi tubuh.
Abstract
One of the social reality which is considered a problem in
society and become a phenomenon is the presence of transvestites. Transgender
is considered a moral destroyer, social problems, health, and social pathology.
The discrimination of transvestites from society in general makes the lives of
transvestites not known to many audiences. Transgender with all his lifestyle
most people consider as a deviation. This research focuses on the deviation of
transsexual sexual behavior in the novel Taman Api by Yonathan Rahardjo. The
research design used is descriptive qualitative. The data in this study is the
result of a study of the novel Taman Api by Yonathan Rahardjo. The primary data
source is a sentence in the novel Taman Api by Yonathan Rahardjo. Secondary
data source is library data source that is in the form of book, journal,
scientific article. Data collection techniques using Content analysis
techniques. Data validity technique using data or source triangulation
technique. Analyze technique is interactive model analysis (Interactive Model
Analysis). The results of this study show that in Taman Fire novels there are
(a) same sex, (b) world of prostitution, and (c) body reconstruction.
Keywords: deviation behavior, sex, transvestites
PENDAHULUAN
Sastra merupakan karya krestif imajinatif manusia dalam
bidang seni dengan menggunakan media bahasa. Sebagai hasil karya, sastra tidak
hanya didukung unsur-unsur intrinsik yang membangun
ceritanya. Karya sastra baik berupa novel, cerpen, puisi, maupun naskah drama
mengandung unsur-unsur dari luar (ekstrinsik), baik dalam aspek psikologis, antropologis maupun sosiologis
karena karya sastra diciptakan oleh sastrawan yang
125
merupakan anggota masyarakat dan karya sastra dinikmati oleh
masyarakat pula. Oleh sebab itu, karya sastra bisa dipandang sebagai cermin
kehidupan masyarakat yang di dalamnya terdapat berbagai pelik masalah.
Dunia realitas merupakan bahan karya sastra, dan selanjutnya
akan diolah oleh sastrawan menjadi sebuah karya seni yang sesuai dengan apa
yang dikehendakinya terkait dengan konflik, keunikan fenomena dalam masyarakat
dan berbagai hal menarik dari masyarakat. Pernyataan tersebut senada dengan apa
yang dikemukakan oleh Renne Wellek dan Austin Warren (1990: 109) bahwa sastra
menyajikan kehidupam, dan kehidupan tersebut sebagian besar terdiri atas
kenyataan sosial, walaupun karya sastra itu juga dipandang suatu gejala sosial.
Terkait ungkapan di atas, Sadewa (2012: 65-66) mengemukakan bahwa sebuah karya
sastra bisa dibahas atau diteliti melalui berbagai pendekatan yang berkaitan
dengan segala hal yang menyangkut kehidupan manusia atau masyarakat.
Apabila sastra dipandang sebagai cerminan dari kehidupan
masyarakat, maka wajar jika teks sastra dikaji dengan menggunakan pendekatan
sosiologi sastra. Tidak dapat dipungkiri sebagai anggota masyarakat sastrawan
dalam proses penciptaan hingga lahirnya sebuah karya baik itu novel, cerpen,
puisi, dan begitu juga naskah drama sangat dipengaruhi oleh keadaan sosial dan
masyarakat yang melingkupinya. Hal-hal yang mempengaruhi dalam proses
kreatifnya itu bisa karena latar belakang agama, sosial, budaya, bahkan cerita
hidup dari sastrawan itu sendiri.
Penelitian sosiologi sastra merupa-kan upaya melihat
fenomena sosial secara empiris dengan menggunakan teks sastra sebagai cerminan
fakta sosial (Sariban: 118).
Pendekatan sosiologi sastra dipakai sebagai bahan untuk
menganalisis sebuah karya seni merupa-kan upaya untuk melihat sebuah realita
sosial ataupun fenomena-fenomena yang berkembang dalam masyarakat, dalam hal
ini menggunakan novel sebagai objek kajiannya.
Novel adalah wujud dari salah satu karya sastra yang banyak
diminati oleh pembaca. Novel berdasarkan pendapat dari Nurgiyantoro merupakan
karya sastra yang mengungkapkan aspek-aspek kemanusiaan yang lebih men-dalam
dan disajikan dengan halus (1995: 9). Novel dianggap paling dominan dalam
menampilkan unsurunsur cerita yang paling lengkap, memiliki media paling luas, dan
bahasa novel cenderung bahasa sehari-jari yang umum digunakan dalam masyarakat.
Nurgiyantoro (1995: 11) mengemukakan bahwa novel dapat
mengemukakan sesuatu secara bebas, menyajikan sesuatu secara lebih banyak,
lebih rinci, lebih detil, dan lebih banyak melibatkan berbagai permasalahan
yang lebih kompleks.
Novel yang baik dibaca untuk penyempurnaan diri. Novel yang
baik adalah novel yang isinya dapat memanusiakan para pembacanya. Sejalan
dengan pendapat Isnaniah, Waluyo, Sayuti, Andayani (2013: 197-198) yang
mengemukkan bahwa Novel is one of the literary works which is interesting to
study. Its presence means to explore the aesthetics values, and is expected to
realize universal values prevailing in society, such as religious values,
educational, humanitarian, moral, ethical, and others. The presence of a novel
certainly cannot be separated fromthe socio-cultural background of the author's
life and ideology, the environment when the creation of the novel,and the
reader’s society who will appreciate the work. Pernyataan yang dikemukakan ahli
dalam Journal of Education and Practice menegaskan bahwa sebagai sebuah karya
sastra yang baik, novel (khususnya) tidak hanya diciptakan sebagai karya yang
tidak memiliki fungsi. Fungsi tersebut juga tidak hanya berhenti sebagai fungsi
hiburan semata. Karya yang baik adalah karya yang bisa memanusiakan manusia.
Cerita yang tertuang dalam novel menggambarkan berbagai
pelik kehidupan masyarakat. Umumnya terdapat konflik sosial yang sudah menjadi
rahasia umum, diketahui dan dapat dirasakan bahwa suatu yang abnormal itu ada.
Ketimpanganketimpangan sosial (abnormal) dalam novel tersebut digambarkan dalam
perilaku tokoh atau sering disebut sebagai penokohan. Senada dengan yang
dikemukakan Endraswara (2013: 41) bahwa novel adalah gambaran fiktif kehidupan
manusia. Perilaku sendiri memiliki pengertian sebagai tanggapan atau reaksi
individu terhadap rangsangan maupun lingkungan.
Artikel ini menjadikan cerita dalam novel Taman Api sebagai
objek kajian penelitian. Penggambaran perilaku tokoh yang terdapat pada novel
Taman Api mengupas perilaku-perilaku tokoh yang menitik beratkan pada kehidupan
atau perilaku para waria baik yang dapat dikatan sebuah ketimpangan ataupun
yang dianggap normal dan berbagai macam problem yang melingkupinya. Novel Taman
Api digambarkan oleh pengarang kaya akan konflik yang menarik untuk dikaji,
khususnya menguak bagaimana kehidupan waria yang penuh dengan stikma negative
seperti anggapan bahwa waria adalah patologi sosial, perusak moral, pencemar
kesehatan, dan bahkan menyalahi kodrat dari Tuhan.
Waria dilihat dari definisi sosiologis merupakan transgender
(Puspitosari.dan Pujileksono, 2005: 9). Transgender biasa dipahami sebagai
perempuan yang terperangkap dalam tubuh laki-laki. Para waria sering mempresentasikan
dirinya sebagai wanita yang terkurung dalam tubuh laki-laki dan memiliki ciri
bersolek atau berdandan serta memakai pakaian layaknya wanita. Bahkan, perilaku
yang dianggap menyimpang dalam masyarakat dan ada pada waria ialah bagaimana ia
bersikap, berjalan, bertutur, serta jenis perilaku atau orientasi seksual
mereka yang lebih memiliki kecenderungan menyukai lakilaki.
Dari sisi psikologis, waria dikatakan sebagai kaum
transeksual atau seseorang yang memiliki wujud jasmani laki-laki namun secara
psikis memiliki kecenderungan berperingai sebagai perempuan. Secara seksual waria menyukai laki-laki,
orientasi seksual waria sama dengan homoseks. Dilain pihak, homoseks berbeda
dengan waria yang mengubah tubuh, alat kelamin, dan perilakunya layaknya perempuan,
sedangkan homoseks hanya memiliki ketertarikan seks pada sesama jenis. Pada
wanita biasa dikatakan sebagai lesbian.
Truong menjelaskan
bahwa seks dalam kehidupan manusia menjadi bagian yang sangat penting, karena
perilaku seksual akan mempengaruhi kontruksi sosial (dalam Koeswinarno, 2004:
53). Kaum waria memiliki perilaku dan
kebutuhan seks yang berbeda dengan masyarakat pada umumnya. Kaum waria memiliki
orientasi seks tidak sesuai dengan penampilan jasmaniah mereka, dimana
laki-laki berpenampilan layaknya perempuan dan dalam perilaku seks pun kaum
waria cenderung menyukai sesama jenis serta memposisikan diri mereka sebagai
perempuan juga. perilaku seksual waria
berada dalam satu pemahaman relasi seksual yang dilakukan bersifat homoseks,
sementara kode-kode sosial memandang relasi seksual memiliki keabsahan apabila
dilakukan secara heteroseks atau perilaku seksualitas dengan lawan jenis. Oleh
karena itu, bisa dikatakan perilaku seksual yang dimiliki oleh waria merupakan
penyimpangan.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini adalah penelitian yang bersifat kualitatif.
Pendekatan yang dipergunakan adalah pendekatan sosiologi sastra sastra. Pada
penelitian ini peneliti menggunakan metode
deskriptif analisis. Penelitian ini berusaha menguraikan atau
mendeskripsikan data-data tertulis baik dari suatu individu atau kelompok
tertentu yang dapat diamati serta berusaha untuk menjelaskannya guna memberikan
pemahaman.
Data pada penelitian ini berupa hasil telaah dari novel
Taman Api Karya Yonathan Rahardjo. Sumber data primer dalam penelitian ini
berupa novel Taman Api karya Yonathan Rahardjo. Sumber data sekunder yang dalam
penelitian ini adalah sumber data kepustakaan yaitu berupa buku, jurnal,
artikel.
Teknik pengumpulan data menggunakan teknik Content analysis,
yang merupakan strategi untuk menangkap pesan karya sastra. Teknik validitas
data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah teknik trianggulasi data
atau sumber, yakni membandingkan dan mengecek balik derajat kepercayaan suatu
informasi dari narasumber satu dengan lainnya dan yang diperoleh melalui
catatan atau arsip dan dokumen yang memuat catatan yang berkaitan dengan data
yang dimaksudkan peneliti (Sutopo, 2002: 79). Teknik analisis adalah analisis
model interaktif (Interactive Model Analysis). Menurut Miles dan Huberman
(dalam Sugiyono, 2009: 247) terdapat tiga komponen analisis yakni (1) Reduksi Data, (2) Penyajian Data,
(3) Penarikan Kesimpulan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Waria merupakan sebagian dari banyak fenomena. Waria, wadam
atau banci merupakan laki-laki yang mengubah bentuk tubuh serta perangainya
serupa layaknya lawan jenis atau perempuan (transeksual). Keberadaan waria
selain sebagai fenomena juga dianggap sebagai kelompok yang kerap menganggu
kenyamanan pastoral masyarakat. Populasi waria semakin menjamur di berbagai
pelosok negeri seiring bertambahnya tahun. Pada survey tahun 2008, Yulianus
Rettoblaut selaku Ketua Forum Waria Indonesia menjelaskan terdapat sekitar
tujuh juta kaum waria di Indonesia.
Waria dengan segala masalah dan gaya hidupnya yang komplek
acap kali menjadi masalah bagi sebagian besar masyarakat dan sering dibicarakan
sekaligus kontroversial. Satu posisi waria ditolak bahkan tidak diakui
keberadaan mereka dalam masyarakat pada umumnya dengan berbagai macam argumentasi
baik yang bersifat normatif, psikologis, agama, bahkan kaum merekapun tidak
diakui oleh sebagian masyarakat. Satu sisi yang lain, mereka tetap adalah
anggota masyarakat dengan segala keterbatasan dan kelebihannya yang tentunya
memiliki hak-hak yang sama layaknya masyarakat lain pada umumnya.
Kehidupan seks kaum waria yang dianggap menyimpang dalam
novel Taman Api menarik untuk dikaji dan dideskripsikan dalam artikel ini.
Hubungan seks merupakan kebutuhan biologis manusia pada umumnya. Tidak ubahnya
dengan masyarakat normal, mengingat waria juga bagian dari sebuah masyarakat,
maka waria juga memiliki keinginan dan dorongan seksualitas. Dorongan
seksualitas kaum waria tidak jauh berbeda dengan dorongan seks manusia secara
umum, yang menjadi pembeda ialah mengingat waria pada dasarnya merupakan
lakilaki dan berperangai layaknya perempuan. Kenyataan tersebut mempengaruhi
perilaku seks kaum waria. Berikut temuan dalam novel Taman Api terkait
penyimpangan perilaku seks waria.
Hubungan Sesama Jenis
Layaknya homoseks hubungan seksualitas kaum waria merupakan
hubungan seks dengan relasi seksual sesama jenis. Perbedaannya, waria berusaha
mengkondisikan dan memposisikan dirinya sebagai seorang wanita dengan segala
atribut dan anatomi tubuh laki-lakinya dirubah menjadi layaknya seorang wanita.
Berikut kutipan yang menegaskan penyimpangan perilaku seksual waria dengan
sesama jenis:
“Malam kian merangkak. “Besok kita sudah pulang ‘kan, Mas..?
Tanya Tari di awal kebersamaan di kamar hotel mewah yang selanjutnya diiringi
perbuatan malam penghangat tubuh di atas kasur empuk menggelombangkan kain
seprai, menyisakan bercakbercak basah dalam embusan dingin udara ruang,
mewariskan aroma khas dan istimewa.”
(Taman Api: 19)
Pada kutipan di atas terlihat bagaimana waria Tari melakukan
hubungan seksual dengan Ranto seorang dokter spesialis bedah kelamin yang juga
merupakan laki-laki. Jelas terlihat bagaimana penyimpangan perilaku seksualitas
antara keduanya. Hubungan seks diakui keabsahannya dalam masyarakat jika relasi
seksual itu dilakukan secara heteroseksual atau hubungan seksual antara
laki-laki dan perempuan. Wujud data lain yang menunjukkan hal serupa juga
terlihat pada kutipan berikut.
“Meski mereka semata-mata manusia yang berjenis sama, namun
perbdaannya, yang satu alami, sedang yang satu sudah mengubah penampilan diri
menjadi punya organ-organ lain pembentuk tubuh dan diri laksana putri. Dan
dalam gelap itu, semua menjadi alam lain penuh
khayalan.” (Taman Api: 134)
Kutipan di atas menunjukkan bagaimana waria sebagai
transeksual memiliki perilaku seks layaknya homoseks. Kaum waria melakukan
hubungan seks dengan pasangan (sebagian besar konsumen) dengan menggunakan alat
kelamin yang sama. Mengingat fenomena tersebut, berbagai cara dipergunakan
waria demi melampiaskan dorongan seks mereka. Salah satu metode yang
dipergunakan waria dalam praktik relasi seksual yakni dengan metode anal atau
tindakan seks yang melibatkan masuknya alat kelamin pria ke dalam anus pasangan
seksual. Berikut kutipan yang menegaskan adanya penyimpangan perilaku seks
waria dengan relasi seksual dengan metode anal.
“Nah, itu’kan?” celetuk Riris, namun tak digubris dokter
yang terus mencocor dengan uraian, “Penularan lewat cairan sperma dan cairan
vagina misalnya melalui hubungan seks, penis masuk ke dala vagina atau anus
tanpa menggunakan kondom. Ini memungkinkan tercampurnya cairan sperma denga
cairan vagina atau darah, yang mungkin terjadi dalam hubungan seks lewat anus
seperti yang kerap kalian lakukan.” (Taman Api: 75).
Koeswinarno mengemukakan bahwa praktik relasi seksual dengan
menggunakan metode anal juga menjadi salah satu dari empat metode yang
dipergunakan waria saat berhubungan dengan pasangan atau konsumen selain metode
oral, jepit, dan onani (2004: 58). Pada penelitian koeswinarno dijelaskan bahwa
hubungan seks yang menggunkan metode anal tidak begitu berkembang di kalangan
waria dan konsumen, kecuali mereka yang benarbenar memiliki hubungan pacar
dengan waria tersebut. Pasangan relasi seksual yang ingin melakukan metode anal
adalah mereka yang memiliki kecenderungan kea rah homoseks atau penyuka sesama
jenis.
Dunia Prostitusi
Sebagai kaum waria yang dianggap oleh masyarakat sebagai
kaum yang mengalami kegamangan gender dan banyak perilaku yang tidak sesuai dengan
kodratnya sebagai laki-laki termasuk perilku seks mereka yang menyimpang
setelah pilihan hidup yang dianggap menyimpang mengakibatkan kaum waria
termarjinalkan dari masyarakat. Kaum waria dianggap sebagai warga kelas dua
oleh pemerintah dan tdak diakui eksistensinya pada lembaga-lembaga formal
bahkan tidak diakui keberadaan mereka walaupun keyataannya tetap hidup da ada
di tengah masyarakat.
Kecenderungan tersebut membuat kaum waria mengalami
kesulitan dalam mendapatkan pekerjaan, selain membuka usaha salon yang kerap
menjadi pilihanlapangan pekerjaan untuk waria, pada akhirnya dunia malamlah
yang sebagian besar menjadi tujuan akhir mata pencaharian mereka di samping
untuk mencari kenikmatan atau kepuasan biologis pemuas nafsu dan kepuasan diri.
Berikut terdapat kutipan yang menegaskan penyimpangan perilaku seks waria
dengan menjadi pekerja malam.
“Bahkan kita jadi hiasan… dan kumbang-kumbang itu dating dan
menikmat kita sesuai dengan perjanjian…., papar Susi.”
(Taman Api: 95)
“He…, bukanlah kalau siang kamu buka salon?” Iya Sih…
Maksudku untuk kenikmatan…. Kebutuhan biologis…. Makanan Jiwa…, ujar Meti
berubah posisi tidak lagi menghadap tubuh pada Susi.” (Taman Api: 95)
“Kok tidak bekerja di suatu tempat, misalnya salon saja?”
Tidak. Karena kalau tidak begini, berarti aku menjalani kewariaan secara
setengah-setengah. Dengan cara ini, aku merasakan suatu
kepuasan.” (Taman Api: 98)
Terlihat dalam beberapa kutipan di atas terdapat data yang
menegaskan bahwa waria menjalani praktek seks dengan relasi seksual bukan hanya
untuk mencari penghidupan atas diri mereka masing-masing. Sejalan dengan itu,
waria menjajakan dirinya di malam hari karena dorongan biologis
seksualitas-nya. Terlepas dari itu, salah satu tujuan waria menjajakan diri
ialah sebuah kesenangan atau hobi. Selain itu, memasuki dunia prostitusi bagi
meraka juga kerap dijadikan sebuah seni. Dikatan seni karena setiap hari dapat
berganti-ganti relasi seks, berganti-ganti baju dan parfum serta mendapatkan
uang dengan mudah (Puspitosari dan Pujileksono, 2005: 112). Fenomena ini sudah
melekat dan kiranya sudah mendarah daging dalam dunia waria. Puspitosari dan
pujileksono (2005: 112) mengungkapkan bahwa dunia prostitusi atau pelacuran
bagi kaum waria sudah menjadi budaya tersendiri bagi kehidupan kaum waria.
Rekonstruksi Tubuh
Penyimpangan perilaku seks pada waria tidak hanya
berorientasi pada kenikmatan dengan relasi seks saja. Seks memiliki arti secara
harfiah adalah hal yang berhubungan dengan alat kelamin. Hubungan dengan alat
kelamin tersebut dapat diambil definisi bahwa seorang laki-laki yang merasa
dirinya wanita dan terjebak dalam tubuh pria. Sehubungan dengan itu
penyimpangan perilaku seks waria juga erat berhubungan dengan bentuk fisik
jasmaninya.
Kaum waria sebagian besar banyak yang melakukan rekontruksi
bentuk tubuh ataupun wajah. Hal ini dilakukan karena kesadaran dan didasari
oleh bentuk jasmani atau biologis mereka yang memiliki ciri-ciri fisik lelaki.
Karena banyak diketahui bahwa waria berupaya mempresentasikan diri mereka
adalah perempuan, baik secara perilaku ataupun bertutur. Oleh karena itu,
berbagai upaya untuk mendapatkan ciri-ciri tubuh layaknya perempuan tidak bisa
dikesampingkan oleh kaum waria ini. Hal tersebut juga memiliki fungsi sebagai
salah satu cara masyarakat mengidentifikasikan bagaimana identitas mereka dalam
sebuah masyarakat. Hal ini senada dengan yang dikemukakan Abdullah (1995: 45)
bahwa tubuh manusia itu sangatlah penting karena sebagai salah satu alat dalam
identifikasi sosial. Berikut kutipan yang menegaskan perilaku waria yang
merekontruksi tubuh sebagai wujud penyimpangan perilaku seks.
“Tiga orang waria berjajar, bersolek, celana wanita yang
mereka kenakan meliukkan pinggul sampai bawah lutut, namun ujungnya hamper
tidak menutupi betis kuning. Alas kaki mereka sepatu hak tinggi, mendukung gaya
tubuh menarik bokong ke belakang dan mendorong buah dada maju. Di atas semua
itu, wajah mereka cantik meski gurat kelelakian
terasa.” (Taman Api: 6)
Pada kutipan di atas terlihat bahwa adanya usaha waria untuk
mempercantik diri mereka dan mengidentifikasikan bahwa mereka adalah wanita,
atau setidaknya berusaha tampil cantik layak-nya wanita. Usahausaha yang
dilakukan adalah seperti mempergunakan make up layaknya wanita umumnya, bahkan
mempergunakkan baju wanita yang mempertegas lekuk tubuh. Usaha lain yang
dideskripsikan oleh koeswinarno
(2004: 59) guna menjelaskan bagaimana usaha waria
merekontruksi tubuh demi menciptakan kontruksi sosial bahwa kaum waria ingin di
pahami sebagai “perempuan” ialah seperti menghilang-kan bulu kaki, merubah suara
dan bergincu.
Selain itu, terdapat pula usaha rekontruksi tubuh yang dapat
dikatakan lebih berani. Rekontruksi tersebut berhubungan dengan merombak bagian
tubuh waria yang memiliki ciri-ciri fisik laki-laki menjadi ciri-ciri fisik
perempuan. Hal itu terlihat pada beberapa usaha waria yang merrekontruksi
bagian dada, wajah, ataupun pinggul mereka.
Perhatikan kutipan berikut. “Meski secara pembawaan ciri
tubuhku tidak sebagaimana laki-
laki macho dan cenderung punya ciri keperempuan-perempuanan,
aku juga mengkonsumsi pil hormon wanita selama berbulanbulan. Tiap hari, aku
minum tiga kali satukali minum tiga butir. Pengaruhnya, pada permulaan hanya
sedikit perubahan di tubuhku. Kulitku menjadi jauh lebih lembut seperti kulit
wanita. Minum pil saja tidak cukup, aku juga suntik hormon. Sedikit demi
sedikit payudaraku lebih membesar. Pinggul keluar lebih lebar disbanding
sebelumnya. Otot-otot tubuh lebih rata dan kulit lebih putih tubuhku menjadi
lebih seksi dan aku kian percaya diri tampil sebagai perempuan.” (Taman Api: 8)
Suntik hormon pun kerap dilakukan untuk mendapatkan tubuh
yang menjadi idaman. Selain temuan data di atas, terdapat pula data dalam novel
Taman Api yang menunjukkan berbagai upaya untuk merekontruki tubuh. Waria kerap
melakukan suntik silicon demi memperbesar payudara dan berbagai operasi untuk
mengubah bentuk anatomi tubuh. Berbagai alat-alat medis yang mendukung
upaya-upaya kaum waria untuk merubah penampilan diperguna-kan seperti suntikan
silicon jeli untuk mengisi implant payudara, dan silicon padat untuk testis
tiruan serta implant hidung dan pipi, tidak ketinggalan bagi mereka yang
memiliki dana lebih, memilih untuk operasi kelamin. Untuk satu ini hanya bagi
mereka yang memang menginginkannya.
Hasil analisis yang didapat dari novel Taman Api tersebut
juga didukung hasil penelitian Koeswinarno (2004: 59) yang menunjukkan bahwa
waria juga melakukan rekontruksi bagian-bagian tubuh yang kerap dilakukan untuk
mempercatik penampilan. Bagian-bagian tubuh tersebut misalnya dagu, pipi, payudara,
hidung atau pantat. Rekontruksi dapat dilakukan dengan operasi plastic ataupun
suntik silicon apabila ingin mendapatkan harga yang lebih murah.
Perhatikan kutipan berikut.
“Meski nona Tari punya lipatan seperti alat kelamin wanita,
karena alat kelamin pria di atasnya lebih besar, dengan panjang dan besar
termasuk normal meski di batas bawah, sama saja, kita bekerja membuang alat
kelamin prianya terlebih dahulu disusul pembuatan alat
kelamin wanita.” (Taman Api: 47)
Kutipan di atas menunjukkan adanya wujud atau upaya
merekontruksi bagian tubuh yakni alat kelamin waria Tari dengan jalan operasi
bedah kelamin. Digamrkan pula dalam novel Taman Api bahwa rekontruksi kelamin
bagi kaum waria diperuntukkan bagi mereka yang berkeinginan untuk mengubahnya,
meskipun dalam penceritaannya di-bubuhi adanya praktek bongkar kelamin secara
paksa. Oleh sebab itu kaum waria disebut sebagai kaum transeksual. Dikisahkan
oleh Yonathan Rahardjo dalam novelnya bahwa banyak waria yang memilih organ
vital lelaki mereka tetap ada meskipun dengan organ vital sekunder (payudara)
membesar seperti layaknya wanita tetap mereka berlakukan. Berikut kutipan yang
menegaskan perilaku seks menyimpang dengan melakukan relasi seks berkelamin
lelaki dengan organ vital sekunder layaknya perempuan.
“ Aku normal padahal sudah suntik silicon yang membuat
payudaraku tidak asli lagi? Tapi paling tidak, dengan kondisi tubuh seperti
ini, aku merasa sempurna melakukan segala bentuk hubungan seks sebagai waria
yang berpenampilan wanita meski tanpa operasi kelamin. Dan sebetulnya, aku
ingin tetap menjadi manusia dengan kondisi
apa adanya.” (Taman Api: 100)
Sebuah kenyataan waria tetap memiliki dorongan seksual
layaknya manusia pada umumnya, meskipun banyak perbedaan-perbedaan yang sering
dikatakan sebagai penyimpangan. Kutipan di atas juga menegaskan bahwa tidak
smua waria yang alat kelamin primer mereka dirubah menjadi layaknya perempuan
meskipun penampilan dan perangai mereka layaknya perempuan.
SIMPULAN
Berpijak dari uraian yang telah dijelaskan maka dapat
disimpulkan dalam novel Taman Api karya Yonathan Rahardjo terdapat data
penyimpanganpenyimpangan perilaku seks waria. Penyimpangan perilaku seks
tersebut digambarkan oleh tokoh dalam novel tersebut dan terbagi menjadi
beberapa bagian. Penyimpangan-penyimpangan perilaku seks tersebut antara lain
(a) penyimpangan perilaku seks hubungan sesama jenis, (b) penyimpangan perilaku
seks dalam dunia prostitusi, dan (c) penyimpangan perilaku seks rekontruksi
tubuh.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, I. (1995). Tubuh, Kesehatan dan Reproduksi Hubungan
Gender. Populasi No. 6 Vol. 2, 45. Yogyakarta: Pusat
Penelitian Kependudukan UGM.
Endraswara, S. (2013). Metodologi Penelitian Antropologi
Sastra. Yogyakarta: Penerbit Ombak
Isnaniah, S., Waluyo, H. J., Sayuti, S. A., Andayani.
(2013). The Representation of Islamic Teaching in The Novels by Habiburrahman
El Shirazy (The Study of Literary Sociology and Education Values). Journal of
Education and Practice, Vol.4, No.13, pp.197-198.
Koeswinarno. (2004). Hidup Sebagai Waria. Yogyakarta: LKIS
Nurgiyantoro, B. (1995). Teori
Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Puspitosari, H., Pujileksono, Sugeng. (2005). Waria dan
Tekanan Sosial. Malang: UMM Press
Rahardjo, Y. (2011). Taman Api.
Jakarta: Pustaka Alvabet. Sadewa, I. K. (2012). Sajak
“Nyanyian Angsa” Karya WS. Rendra: Analisis Antropologi
Sastra. Jurnal Pustaka Volume XII, No.
1 , pp. 65-66
Sariban. (2009). Teori dan Penerapan Penelitian Sastra. Surabaya:
Lentera Cendekia
Sugiyono. (2009).
Penelitian Pendidikan (Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan
R&D). Bandung: Alvabeta.
Sutopo. (2002). Metodologi Penelitian Kualitatif: Dasar
Teori dan Penerapannya dalam Penelitian. Surakarta: Sebelas Maret
University Press.
Wellek, R dan Warren, A. (1990). Teori Kesusastraan. Jakarta: PT.
Gramedia
No comments:
Post a Comment